Independensi Media Massa Dalam Arus Demokrasi


Kredit gambar : romeltea



www.lpmsinergis.com - Pasca pemilu serentak 2019, istilah politik media seakan muncul dibenak, rasanya seperti ada keganjilan pada perannya media massa sebagai sumber informasi yang meyakinkan masyarakat. Politik media dapat dipahami sebagai strategi melalui komunikasi massa untuk meyakinkan publik agar dapat memenangkan pemilihan umum, salah satunya dengan menggunakan media massa elektronik atau media cetak surat kabar. Dan berdasarkan perkembangannya, media massa dari dulu memang tidak pernah terlepas dalam arus demokrasi.

Maka tidak heran bahwa saat ini media massa menjadi komersil terhadap godaan politik dalam pemilu. Mereka berperan membangun opini sebagai iklan politisi, bukan lagi mengkritisi. Sebenarnya hal tersebut dulu juga memang sering terjadi. Data investigasinya pernah diungkap oleh organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang dideklarasikan pada masa Orde Baru tahun 1994, yang mencetak sejarah perlawanan pers terhadap rezim Soeharto yang otoriter membungkam kebebasan pers dan aspirasi rakyat sekaligus merusak sistem demokrasi negara. Pada tahun 2009 AJI pernah melakukan penelusuran terhadap Radar Cirebon yang menjadi salah satu perbincangan dalam laporan penelusuran berjudul “Wajah Retak Media”. Saat itu demi meningkatkan pendapatan,  Radar Cirebon membungkam kritik, berita-berita miring ditukar dengan iklan. Dan benar adanya, bahwa media swasta memang selalu tergiur oleh iklan, apalagi Radar Cirebon merupakan koran lokal dengan sirkulasi cukup besar, sehingga menjadi pilihan politisi lokal yang tengah menghadapi pemilihan umum untuk memperebutkan jabatan. Jika sedang masa kampanye, pendapatannya bisa mencapai Rp 500 juta, bahkan seakan memberikan pelayanan iklan di kolom “Pilkada”.



Demi mendongkrak pendapatan yang lebih besar lagi, wartawan Radar Cirebon didorong mencari iklan sebanyak-banyaknya. Dan ketika sedang meliput, mereka mungkin terpaksa menawarkan iklan karena akan mendapatkan penghasilan tambahan 15%, karena tanpa komisi dari iklan, wartawan Radar Cirebon harus bersedia hidup pas-pasan. Oleh karena itu, mereka terpacu mencari iklan, membungkam kritik demi iklan. Selain itu, yang paling memprihatinkan adalah ketika pemimpin redaksi malah beralasan bahwa dorongan mencari iklan merupakan gerakan anti amplop. Padahal itu adalah bukti kebobrokan media massa yang jelas tidak independensi, serta menodai kebebasan pers dalam berekspresi.

Pemberitaan dalam koran lokal, Radar Cirebon, salah satu contoh komersil dan kegenitan media massa surat kabar terhadap godaan politik, maka karena hal itulah disebut sebagai koran lokal FPI (Front Pembela Iklan). Selain Radar Cirebon, surat kabar Pikiran Rakyat juga sama-sama terekam wajah retaknya dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh AJI. Sementara di masa era digital saat ini, arus informasi meningkat drastis dan semakin deras karena adanya media sosial yang praktis sebagai sumber informasi, akan tetapi berita hoaks-nya meluap tak terhingga, sehingga mempengaruhi sikap dan opini masyarakat terhadap politisi maupun medianya itu sendiri.

Selain media cetak, permasalahan independensi juga terdapat dalam media elektronik. Pada tahun 2015, Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) sempat menegur media stasiun televisi MNC Grup karena mempromosikan iklan partai Perindo sebelum masa kampanye diberlakukan, sebab pemilik dari MNC Grup ialah Ketua Umum Perindo. Tidak hanya itu, bahkan beberapa stasiun televisi dikuasai oleh konglomerat yang merupakan tokoh politik, seperti halnya tvOne milik Aburizal Bakrie, Ketua Umum partai Golkar. Lalu MetroTV dikuasai oleh Surya Paloh, Ketua Umum partai NasDem. Dan setiap stasiun televisi tersebut memberikan iklan atau promosi partainya dengan durasi panjang di setiap stasiun televisinya. Hal itu menyebabkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sering mendapatkan keluhan dari masyarakat mengenai iklan-iklan partai tersebut. Maka berdasarkan hasil riset dari Tim Remotivi turut menyimpulkan bahwasannya televisi yang pemiliknya berafiliasi dengan partai, terbukti tidak independen.

Akibat borok dari semua awak media itu, saat ini masyarakat mudah terkontaminasi oleh berita yang belum tentu kebenarannya, bahkan tidak sedikit yang meyakini berita-berita yang latar belakangnya kemungkinan besar hoaks. Lantas bagaimana mungkin opini-opini tersebut dapat dipercayai sedangkan peran media sebagai sumber informasi malah menjadi ajang bisnis periklanan, atau bahkan jadi alat kepentingan kampanye, pemiliknya pun merupakan ketua umum partai politik.
Terkait dengan hal tersebut, menyebabkan masyarakat yang kritis dapat berpikir dan memiliki perspektif yang kurang nyaman terhadap peran media. Sebab media berpengaruh besar terhadap masyarakat untuk menggiring opini publik. Hal itu terbukti ketika perhitungan hasil suara pemilu serentak 2019, tedapat kontroversi mengenai perhitungan Quick Count yang diklaim mencurangi salah satu kubu atau mengenai hoaks terhadap media televisi yang menyiarkannya, karena ada yang berkata bahwa media dikuasi oleh salah satu kubu. Padahal program penampilan Quick Count dari hasil perhitungan statistik dari lembaga-lembaga survei, mulai dari lembaga bayaran sampai independen. Meskipun kemungkinan anggota lembaga survei ada yang dari orang-orang partai, justru dugaan itulah yang membuat masyarakat semakin ragu terhadap media, bahkan sampai muncul Gerakan Matikan Televisi!.

Lantas, yang menjadi permasalahan bagi media adalah bagaimana media menempatkan diri sebagai alat kontrol sosial dan sumber informasi yang jujur serta independensi, netralisasi, dan komitmen di tengah godaan politik. Karena tidak semua media seperti AJI.

Meskipun celakanya, ketika kita melihat kondisi saat ini, peran awak media tidak banyak yang mengkritisi, tapi sudah terlanjur membangun opini yang dimanipulasi, sehingga tidak sesuai dengan tujuan media massa. Akibatnya, banyak masyarakat yang sudah terkontaminasi oleh berita-berita hoaks terutama di media sosial, mereka gampang terpengaruh dan menyebabkan mudah percaya bahwa berita itu benar adanya. Sehingga masyarakat memiliki perspektif  yang pragmatis terhadap segala informasi, serta sikap dan karakter pun ikut terpengaruh.

Media perlu mengembalikan independensinya, selain itu masyarakat juga harus membangun literasi, tidak hanya sekadar baca, tapi juga menyangkut literasi data dan informasi untuk mengantisipasi dalam menelan informasi yang sampai saat ini sudah terlanjur dimanipulasi untuk kepentingan politik dan politisi.

Penulis : Muhamad Saepudin


Posting Komentar

0 Komentar