Memahami Teologi Pembebasan Ali Syari’ati

Ali Syari'ati. Kredit foto: Wikipedia

www.lpmsinergis.com - Mengenai pembahasan mengenai teologi pembebasan Ali Syari’ati yang telah dibahas beberapa hari kebelakang. Saya mencoba untuk memahami dan mencoretkan tinta di atas kertas, kemudian menguraikan hasil pemahaman saya. Mungkin dalam hal ini sudah tidak asing lagi di telinga atau tubuh kader PMII dalam memahami Teologi Pembebasan Ali Syari’ati, karena ini paling elementer. akan tetapi mungkin ada corak pembeda atau juga ada unsur kesamaan yang harus dimaklumi. Karena ini hasil pemahaman dan perspektif saya. Sebelum saya melangkah jauh ada hal yang penting untuk dipahami, yaitu apa itu teologi?

Secara literal, teologi itu berasal dari kata teos dan logos. Teos mengenai ketuhanan dan logos itu ilmu, jadi teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan, baik berupa keyakinan adanya dzat Allah dan adanya cipataan Allah, misalnya manusia.

Pertama mulai dari pembahasan tentang manusia. Ada dua level manusia yaitu, level bashar (being) dan insan (becoming). “Qul Innama ana basyarun Mislukum. (Katakan, sesungguhnya saya ini adalah manusia biasa seperti Anda.)”

Bashar itu manusia level being, tidak positif tidak negatif. Manusia dibekali akal dan fisik oleh Allah SWT sebagai modalitasnya. Begitu dilahirkan ke bumi mempunyai banyak potensi, ada ruh, pancaindra, hati, dan ada emosi. Bahkan memiliki intuisi dan imajinasi, ini yang disebut dengan level bashar, kendati demikian Nabi pun sama dalam ihwal ini, sebagai mahluk dan manusia.

Bedanya di level kedua, yaitu insan (becoming). Manusia yang sudah mendayagunakan potensinya terutama dalam kebaikan. Maka bashar itu bisa dimaknai sebagai modal dan insan sebagai implementasinya. Itu lah pembahasan mengenai manusai sebelum melakukan gerakan sosial.

Ada hal penting yang kemudian dijadikan landasan dan makna falsafah dari awal mula Nabi Adam diciptakan oleh Allah SWT. Manusia diciptakan dari tanah atau lumpur “min sulalatim min tin” yang menjadi aspek fisik manusia, bukan melainkan tanah yang menjadikannya istimewa tetapi “wa nafakhtu fihi min ruhi,” ruhnya Allah yang ada dalam diri manusia. Inilah yang menjadi pelajaran yang dipetik dari Nabi Adam yang pertama, manusia dari tanah dan diberi ruh ilahi.

Ada dua variabel dalam setiap manifestasi dari manusia yang kemudian menjadikannya tolok ukur pada tindakan dan gerakannya. Aspek yang pertama adalah progresif, dan aspek yang kedua adalah regresif.

Progresif itu bergerak menuju ilahi, ilaihi rojiun. Progresif yaitu ketika melakukan usaha dalam pergerakan menuju ruh ilahi, melakukan apapun hanya karena Allah dan menjadikan seorang manusia yang arahnya dekat dengan Allah. Sehingga menjadi manusia yang terbaik, “ahsanu taqwim.

Demikian pula, regresif kebalikan dari progresif. Regresif yaitu kemunduran dan tidak ada daya untuk memanfaatkan potensi yang ada dalam diri manusia dan menjadi “asfala safilin” menjadikannya lumpur, lebih rendah dari yang paling rendah. Jasad manusia itu sifatnya sementara berubah-rubah dan tidak abadi, orientasinya materi. Itu yang kemudian menjadi sebuah rumus menentukan arah gerak manusia, yang menjadi sebuh kiblatnya menuju materi, atau menuju Allah.

Falsafah ciptaan yang kedua adalah ketika Allah “wa allama adamal asma’a kullaha”, indikasi dalam menuntukan sebuah gerakan menuju progresif kunci utamanya berada pada ilmu. Nabi Adam dibekali oleh Allah dengan ilmu yang tidak diberikan kepada malaikat. Keunggulan Nabi Adam yang membuat Malaikat diperintahkan untuk bersujud. Sujudnya para maikat menunjukan keunggulan mahluk yang namanya manusia itu di humanisme dalam perspektif Ali Syari’ati.

Ada dalam filsafat aliran spiritual yang mencoba melacak al asma, yang diwariskan Nabi Adam secara turun temurun lewat sanad sampai kepala tokoh-tokoh tertentu seperti Nabi Idris yang dikenal sebagai Hermes, termasuk Phytagoras. Termasuk belakangan ini dihidupkan lagi pengetahuannya yang disebut filsafat perenialisme, kebenaran yang pasti dan abadi.



Maka perjalanan hidup manusia dari being menuju becoming, modalitasnya adalah kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Pertama, kesadaran diri, itu paham posisi manusia, peran sejarahnya, dan kondisi hakekat sosial individunya. Itu menuntut kesadaran diri dan membutuhkan pengetahuan. Kemudian yang kedua, kehendak bebas, pula membutuhkan pengetahuan karena butuh tahu apa saja yang membelenggu. Dan yang ketiga, kreatifitas, itu kemampuan untuk menciptakan, memproduksi, dan mengembangkan. Bila mana tidak ada kreatifitas, tidak menelelurkan manusia yang baru (becoming). Itu tiga bekal yang menjadikan manusia kholifah di muka bumi. Itulah tantangannya Allah kepada manusia. Manusia hadir di muka bumi ini untuk menembus ruang dan waktu, untuk merubah dan mengubah baik dari sosial dan individu dari being menuju becoming.

Dalam membahas realitas sosial, manusia tergantung cara memandang realitasnya sendiri, kemudian bergantung bagaimana pengetahuan yang dimiliki sebagai kuncinya atau modalitasnya caranya untuk melihat problem kehidupan.

Ahli fiqih memandang dan melihat realitas dari sudut pandang hukum agamanya, ahli ekonomi melihat kenyataan dari sudut pandang ekonominya. Ini yang dibahas dalam pembahasan di atas dalam modalitas pengetahuannya untuk melihat dunia (world view). Dalam tulisan ini pun dalam pandangan kacamata lain mungkin berbeda, karena setiap individu manusia mempunya cara pandang (world view)-nya masing-masing.

Manusia yang progresif dalam pandangan Ali Syari’ati, word view-nya harus punya corak religius humanistik. Religius itu vertikal, dan humanistik itu horizontal. Terus berupaya dalam menyempurnakan dirinya ke atas, ilaihi rojiun, tapi sekaligus menyempurnakan dirinya sebagai manusia yang bertanggung jawab sosial sebagai kholifah. Jadi manusia itu harus menuju kesempurnaan. Tidak ada manusia yang sempuna tapi setiap manusia mencari dan menuju kesempurnaan. Baik kesempurnaan vertikal menuju Allah maupun kesempurnaan horizontal pemenuhan tanggungjawabnya sebagai kholifah.
World view humanistik itu dasarnya pandangan dunia tauhid, pandangan dunia tahuhid itu “Inalillahi wa Inna ilaihi Rojiun”, hakekat yang sejati itu dari Allah, dan nanti akan kemabli kepada Allah. Maka semua peristiwa, semua momen dalam hidup manusia, dalam gerakan dan tindakan apapun harus dimaknai “Inalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun.

Tauhid itu tidak hanya sahadat, manifestasi lisannya memang sahadat, akan tetapi implementasinya “Bil Jawarih”, itu melakukan sesuatu dalam rangka kembali kepada Allah. Pandangan tauhid untuk manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Allah. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepada-Nya. Pandangan ini untuk menggerakan manusia untuk melawan segala bentuk kekuatan dominasi, belenggu, kenistaan manusia atas manusia dan tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan. Efek sosial dari pandangan tauhid, pasti anti-ketidakadlian, anti-pembelengguan, dan anti penindasan.

“Bagi Dia (Allah), tauhid berarti ke-Esa-an. Bagi kita, tauhid adalah kesatuan” hanya Allah lah satu-satunya yang di atas kita, dan selain Allah semuanya setara. Kepada-Nya (Allah), tauhid adalah penghambaan, kepada kita (manusia) tauhid adalah pembebasan.


Penulis: Maryati
Editor: Asep Tumbara

Posting Komentar

0 Komentar