www.lpmsinergis.com - Di Indonesia tingkat membaca sangat rendah sekali, entah permasalahnya
apa sehingga masyarakat enggan mau membaca. Padahal dengan membaca, pengetahuan kita
menjadi bertambah dan tingkat intelektual pun ikut meningkat. Bila memakai survei United Nations
Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 2011, indeks tingkat
membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000
penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius (tinggi). Kondisi ini menempatkan
Indonesia pada posisi 124 dari 187 negara dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sungguh miris sekali bila di tahun 2011, minat membaca hanya segelintir orang, dan di tahun 2019
ini saya yakin bahwa tidak ada peningkatan dalam budaya membaca.
Di kampus saya mengemban pendidikan, mahasiswa dan mahasiswi yang suka membaca buku
sangat jarang ditemui, mayoritas mahasiswa ataupun mahasiswi lebih senang bermain game daring,
menonton drama korea, ataupun melakukan aktivitas rutin yaitu pacaran, daripada membaca buku.
Buku yang bagi saya suatu pusaka yang mana menyimpan hal-hal yang sangat mengagumkan, isinya
yang membuat pikiran serta mata terbuka lebar, bahwa dengan membaca buku dunia ini sangat luas,
dengan sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. Membaca buku menghindari kita dari
penyakit kebodohan, kebodohan inilah yang membuat mayoritas orang dengan mudah ditipu atau
patuh bila seseorang berbicara sebuah kebenaran yang realitasnya adalah pseudokata, mempercayai
perkataan yang tidak masuk akal, tetapi karena seseorang tersebut memiliki gelar mereka menjadi
percaya dan tidak membantahnya. Sungguh menyakitkan kebodohan ini.
Bila anda pernah membaca novel karya George Orwell berjudul Animal Farm, buku tersebut
membuat saya terilhami, karena buku tersebut menyinggung suatu hewan yang pandai membaca
menjadi atasan, sedangkan hewan yang tidak pandai membaca menjadi budaknya. Hewan yang tidak
pandai membaca dengan mudahnya mempercayai perkataan hewan yang pandai, mereka yang tidak
pandai selalu dibodohi, ditipu oleh perkataan hipokrit. Sehingga mereka yang tidak pandai membaca
menjadi hidup dalam kesengsaraan dan perbudakan. Buku itu memicu saya dan menginginkan suatu
gerakan, sebuah gerakan yang terinsipirasi dari kampanye melek huruf di Kuba yang dilakukan oleh
Che Guevara, dan modernisasi pendidikan oleh Fukuzawa Yukichi. Saya menginginkan bahwa
setiap mahasiswa maupun masyarakat luas melakukan sebuah revolusi yang saya namakan revolusi
berpikir agar setiap individu tidak mudah untuk dibodohi. Dimulai dari membaca, membaca bacaan
yang mengundang berpikir, setelah membaca maka lanjutkanlah revolusi berpikir dengan
menuangkannya dalam sebuah karya tulis, tulislah suatu hal yang didapat dari membaca buku itu
lalu publikasikanlah tulisannya kepada kawan atau masyarakat luas.
Keresahan saya selanjutnya, yakni jarang ditemui buku yang mengajak untuk berpikir secara kritis,
terlalu banyak pelbagai buku yang menjual mimpi-mimpi. Menurut Intan Paramaditha, penulis dan
dosen di Universitas McQuarie di Australia, dalam sebuah wawancara dengan media televisi
menyatakan bahwa, “Selama buku-buku di Indonesia masih bersifat apolitis, menjual mimpi-mimpi,
dan menyodorkan standar moral tertentu tanpa memberikan kesempatan kepada pembacanya untuk
kritis, disitulah letak permasalahnya.”
Melihat toko buku yang berada di tempat perbelanjaan pasti buku-buku yang terpang-pang adalah
buku yang bersifat menjual mimpi-mimpi, buku yang menganggap hidup ini mudah, buku yang
jarang sekali mengajak pembacanya untuk berdiskusi. Dengan realitas seperti itu, maka
permasalahan keuangan ataupun permasalahan cinta tidak perlu dicaritahu ataupun diselesaikan
dengan berpikir, karena sekarang ini hal semacam itu sudah dibukukan. Maka jangan takut dengan
orang-orang yang sering membaca buku, karena belum tentu orang yang sering membaca buku bisa
berpikir secara kritis. Mereka masih tertidur dalam romantisme buku dan juga tuan kapitalisme
berusaha agar tidak membangunkannya dengan cara enggan mensubsidi buku yang bersifat kritis
dengan dalih merugikan dan bisa menyebabkan tindakan vandalisme. Maka dengan dua keresahan
tadi, saya sarankan agar bacalah buku yang membuat anda berpikir secara kritis agar revolusi
berpikir dapat terlaksanakan, sehingga individu ataupun kelompok agar tidak mudah dibodohi dan
ditipu.
Mengutip slogan dari toko buku asal Sleman, Yogyakarta. Membaca adalah melawan. Lalu kata
revolusinya yang membakar semangat sehingga ingin langsung membaca buku, “Kemampuan
manusia dalam bertahan sepadan dengan kemampuan manusia dalam membaca tanda dan
fenomena. Membaca tak sekedar memuaskan hasrat. Namun ia adalah napas gerak hidup. Apapun
perlu dibaca, fenomena maupun wacana. Buku tak pernah memilih pembacanya, sebab dihadapan
buku kita semua sama. Ia adalah rahim pengetahuan. Tempat dimana perlawanan lahir. Kebodohan
diberangus, dan kemerdekaan jadi suluh.”
Membaca adalah melawan, melawan penindasan, kebodohan, kemunafikan, dan kemiskinan ilmu
pengetahuan. Sekali lagi, membaca adalah melawan!
Penulis: Arfan Muhammad N
Editor: Tri Asep Tumbara
0 Komentar