Kredit gambar All-free-download |
Sastra dan Teknologi; bagiku adalah seperti dua buah mata uang, setiap sisinya memiliki nilai dan artistik. Sastra bagiku bukan merupakan barang baru, tapi baru kali ini aku lebih dekat mengenalnya daripada seseorang yang kucintai sendiri. Sementara itu, teknologi: semakin ku kejar ia, semakin menjauhiku. Bila aku hanya diam aku halnya manusia purba yang tak tahu menahu tentang teknologi dimasa kini.
Pada mulanya cerita tentang catatan pendek ini hanya aku
tuliskan dalam sebuah buku catatan harianku, agak tebal dengan bersampulkan
warna merah lusuh. Cerita ini tentang kebingunganku dengan sikap dan budaya
disekelilingku.
Pagi ini, aku terlambat perkuliahan, aku buru-buru bergegas
untuk mengejar waktuku. Sambil melirik ke arah arloji dipergelangan tangan
kiri, menunjukan pukul 8.10. Ku kira aku masih sempat datang tepat waktu. Jarak
antara kost-kostan dengan kampus hanya beberapa meter.
Berlari dan terus berlari. Memasuki pelataran fakultas
... menaiki tangga dan sampai juga
didepan pintu kelas yang tertutup rapat. Arlojiku menunjukan waktu 8.15. Tentu
jantung yang setadi kupompa berlari, kini semakin kencang berdebar tatkala ku
mulai buka pintu dengan membayangkan dosen dan para mahasiswa sudah berkumpul
membahas perkuliahan sedari tadi.
Pintu dibuka dengan perlahan. Betapa terkejutnya aku melihat
isi ruangan kelas tak ada satupun yang hadir.
“Ahhh sial!” dengusku.
Rupa-rupanya jadwal pagi ini dibatalkan. Ku ketahui itu dari
pesan di grup messanger whatsapp kelas.
Beginilah nasib jika kau tak selalu memegang smartphone dalam genggamanmu (teknologi itu seharusnya memudahkan).
Jadwal selanjutnya diadakan sore hari.
Orang memanggil aku dengan sebutan : Nanang. Namaku sendiri
.... seorang terpelajar – mahasiswa dari
fakultas sastra universitas B. Kampusku ini, kampus bergengsi dan ternama di
kota T, entah untuk kota yang lain.
Aku temui beberapa teman yang sedang nongkrong dipojokan
kantin. Mereka rela datang jauh-jauh hanya untuk berkumpul dan memainkan
gadgetnya.
“Hai rob, tadi kok di kelas kosong ya?” tanyaku pura-pura
tidak mengetahui persoalan jadwal yang dibatalkan. “sepi tidak ada
siapa-siapa.”
“Oho, Nang!” sambut Robi. “Apa kau tidak tau, kalau pak
anton hari ini tidak masuk; Coba kau cek hpmu!”
Aku sambil membuka hp, membaca lebih jelas keterangan tidak
masuknya Pak Anton.
Sementara itu roni memandangiku, sambil menyambar : “Universitas Whatsapp.”
Gelak tawa itu tak terbendung.
Ada benernya juga perkataan roni kali ini pikirku: teknologi yang seyogyanya
digunakan untuk mempermudah kita dalam mengerjakan kebutuhan hidup. Malah
dijadikannya kita, sebagai budak teknologi! Mengharuskan untuk setiap saat
memegang.
“Nang, ikut main bareng yuk!”
ajak Robi.
Memang terlihat dalam
pandanganku, teman-teman lain sedang asyik bermain game bersama-sama.
“Maaf semuanya! Kali ini tidak
bisa. ” jawabku. Memang ada keperluan lain, mengerjakan tugas-tugas yang belum
sepenuhnya terselesaikan.
“Tapi lain kali, ikutan ya.”
Aku kembali ke kost-an, istanaku
dimana bukan hanya tempat untuk berlindung diri dari hujan dan panas, tapi juga
sebagai laboratorium keilmuan, setelah jadwal perkuliahan selesai. Tugas-tugas
terselesaikan dan masih menyisakan waktu untukku menulis didalam buku catatan
harian.
Bagiku dengan menulis adalah
suatu cara menggambarkan dunia yang terjadi saat ini kedalam bentuk-bentuk
tulisan yang exotic. Huruf demi huruf
dirangkai menjadi sebuah kata, dan dari sebuah kata digabungkannya menjadi
sebuah kalimat! Ya, seperti sebaris mantra bagi si penyihir yang ditulis dan kalimat
yang bermakna bagiku. Aku mulai menulis :
Rabu, 24 April 2019
Sandiwara apa lagi yang terjadi disekelilingku? Hari ini begitu kacau,
dimulai dari jadwal dibatalkan. Ujung-ujungnya pasti pergantian jadwal. Aku
maklumi dosen juga manusia, pasti ada keadaan daruratnya, bukan hanya mahasiswa
saja yang butuh keringanan.
Tapi ini terlampau sering ia tak masuk! Dimulai dengan alasan klise
“Mobil bapak mogok”, “Bapak lagi dibengkel-lah”, ada rapat dan macam-macam
alasan lainnya. Ia masuk hanya dua kali, itupun dengan awal perkuliahan
(perkenalan). Dan sekarang Ujian Akhir Semester mulai membayang didepan mata.
Ah Sial! Benar-benar buruk perlakuan yang diberikan kampus padaku. Aku
selalu memenuhi kewajibanku sebagai pelajar dan mahasiswa, membayar tepat
waktu. Tapi kenapa pengajar seperti dia masih dipertahankan dan hak-hakku belum
juga terpenuhi.
Belum lagi, iklim pengajaran yang begitu tidak nyaman. Jadwal
perkuliahan yang tidak teratur, salah satunya menyebabkan mahasiswa untuk
menunggu jadwal selanjutnya yang terkadang terlampau jauh! Bisa dibuktikan
kebanyakan mahasiswa menunggu dengan bermain Game.
Bagiku tidak salah jika seseorang menyukai game dan memainkannya. Hanya
saja, ia seperti binatang liar yang diberi umpan berisi obat, agar ia tak lagi
liar. Terkadang lupa waktu, saking ke-asyikannya.
Max Tollenar.
Aku menutup buku catatan
harianku, seperti biasanya dengan kutipan nama
penaku. Waktu bergulir dengan begitu cepat, tak terasa jam sudah menunjukan pukul
2.10, dan teringat olehku perkumpulan rapat Senat Fakultas Sastra dengan pihak
Dekanat. Segeralah aku bangkit, dari meja belajar dan pergi meninggalkan
kediamanku.
Penulis : Max Tollenar
0 Komentar