Esai : Melawan Arus karya Ibnu Kar'an

Ilustrasi gambar oleh Jahid


Di suatu pagi di bulan Februari. Cuaca di hari itu menampakkan kesenduan, awan-awan menghalangi dan menahan sinar mentari. Menjadikan setiap orang malas bergerak, dan mendukung mereka, agar bisa meditasi lebih dalam ditempat tidurnya. Di pagi itu, satu daerah di lereng Gunung Ciremai sedang menghadapi musim penghujannya.

Suasana menjadi sunyi, hanya ada suara angin bergemuruh, membawa udara dingin di pagi itu. Burung-burung tak ada yang berkicau. Tak ada seekorpun yang menyambut pagi. Tetapi di depan gerbang sekolah, terdengar ada satu suara yang kontras dengan suasana di pagi itu. Sebuah siulan bak suara burung, berkicau-kicau mengalun merdu, membelah suasana pagi yang sendu. Siulan berasal dari seorang siswa bernama Bimo, sang kutu buku. Ia melangkah memasuki gerbang sekolah dengan sangat percaya diri, dengan pakaian seragam yang serba rapih nan licin, rambutnya yang bergaya cepak nan klimis, berkombinasi dengan kacamata bundar berbingkai hitam, menambah baginya kesan optimis. Memasuki gerbang sekolah memecah suasana sendu dan menyambut segala kemungkinan dipagi itu.

Ketika sampai di kelas, Bimo melihat semua temannya sudah berada di mejanya masing-masing. Mereka sedang belajar tak seperti biasanya. Ada yang membuka-buka buku sambil komat-kamit, dan merem-melek tak jelas, dari apa yang dilakukannya pasti sedang menghapal. Namun ada juga yang sedang bergerumul dipojok ruangan, sedang berdiskusi nampaknya. Ketika memasuki kelas, sebagian teman yang duduk di barisan depan, melirik Bimo penuh keheranan. Entah kenapa, mungkin heran karena melihat Bimo bersiul-siul riang seperti yang tak punya beban, di hari sendu yang menurut kebanyakan orang dikelas adalah hari penuh beban.

Bimo lalu menghampiri teman-temannya yang sedang berdiskusi di pojok ruangan. “Ada apa denganmu, Nu? Bersiul-siul seperti itu. Habis makan burung Murai kau?” tanya salah satu temannya.
Bimo tersenyum tak menggubris pertanyaan itu, ia lalu menghentikan siulannya.

Surya, salah satu teman disana bertanya “Kamu sudah menghapalkan apa saja Nu, buat ujian Sejarah sekarang?”

Bimo kembali tersenyum, namun sekarang sedikit agak lama. Surya dan teman-temannya yang lain, diam saling pandang, heran melihat sikap Bimo yang sok keren. “Aku tidak menghapal, aku membaca!” jawab Bimo singkat, sambil berkacak pinggang penuh percaya diri. Seketika semuanya diam, mereka sudah biasa dengan sikap temannya yang selalu out of the box itu.

“Jawaban macam apa itu?” timpal Surya memecah keheningan. Semuanya tertawa. Semuanya, kecuali Bimo.

Bimo mempunyai sudut pandang berbeda dalam memandang ujian. Menurutnya setiap ujian yang di selenggarakan sekolah adalah sebuah tes proses belajar, untuk tes belajar, tentang belajarnya, bukan semata-mata tentang nilai. Kalau nilai jelek berarti pemahaman selama belajar masih kurang. Dan kalau begitu harus belajar lagi, harus mengulang lagi. ‘Tak perlu gengsi!’ kata Bimo di satu kesempatan yang lain.

Bimo menjelaskan pendapatnya itu kepada semua teman-temannya
“Dalam belajar yang penting itu pemahamannya, konsepnya, bukan masalah hapalannya” Bimo mengatakan semua kata-kata itu dengan sedikit memakai nada bicara yang tinggi, berbicara bak seorang guru.

“Percuma kan kalau otak kita hanya dipenuhi, bahasa, dan kata-kata dari buku saja, sedangkan kita sendiri tidak benar-benar paham. Konsepnya seperti apa. Maksudnya seperti apa. Kan percuma, dan hanya akan membatasi kita, dari pikiran murni kita sendiri” semua orang memandang Bimo, mereka mengangguk-angguk, sebagian ada yang menggeleng-gelengkan kepala, mereka diam, mungkin takjub. Kata-kata yang tidak biasa diucapkan anak seusianya itu menggema di ruang kelas.

“Ujian itu untuk mencek pemahaman kita, bukan hapalan kita! Dan kalau nanti nilai jadi jelek don’t worry, terus kalau harus mengulang ya don’t gengsi. Tandanya kita memang belum paham” mereka masih memandang Bimo dalam-dalam, namun sekarang sambil memicingkan mata. Tak lama kemudian mereka balik kanan, kembali larut dalam kegiatan awal masing-masing. Ada yang menghapalkan buku, ada yang berdiskusi kembali. Mereka mengacuhkan ocehan Bimo.

Ia sadar, karena telah ceramah di waktu yang kurang tepat.
Waktu ujian telah tiba. Semua orang mendapatkan satu lembar kertas soal, dan satu lembar kertas jawaban kosong. Ketika membuka lembar soal, nampak wajah setiap orang menerbitkan senyuman. “Yeah... Aku tidak salah menghafalkan!” teriak salah satu teman memancing keributan. Sedangkan disisi lain, mulai terdengar suara bergumam “Ehm... No. 3... Pengertian ilmu sejarah, ilmu sejarah menurut... Ehm... Adalah.... Suatu ilmu... Ehm” nampak ia mulai merem-melek menatap langit-langit kelas sambil menggerak-gerakan telunjuknya menulis di udara.

Semuanya nampak lega. Dan langsung mengerjakan soal. Semuanya, kecuali Bimo. Ia terkejut bukan main, ia berteriak dalam hati “Sial! Hafalan semua!”. Bimo lalu meneliti lagi semua soal itu, membolak-baliknya, membacanya lagi dari soal pertama sampai ke yang terakhir. “Oh... Selamat aku. Ternyata ada 3 soal yang meminta pendapat pribadi” kata Bimo masih dalam hati. Ia mulai mengerjakan.

Waktu terus berjalan, namun cuaca masih menghadirkan suasana yang sama, dingin, dan sendu. Sebuah jam berukuran besar menempel di dinding kelas, sudah menunjukan pukul 09.00, artinya waktu ujian tersisa tinggal 30 menit lagi. Semua orang nampak sangat serius  mengerjakan soal. Diantara mereka ada yang sudah merapikan lembar soal dan lembar jawaban di mejanya sambil senyum-senyum sendiri, itu tanda bahwa ia telah selesai. Dan itu tanda bagi peserta lain untuk gelisah tak tenang.

Waktu tersisa 30 menit lagi, dan lembar jawaban Bimo masih banyak yang kosong. Ia melihat ke samping kiri tempat duduknya, seorang teman sedang membuka telepon genggam dengan santai dibawah mejanya. Sedang ia melihat didepan, dibawah foto Presiden dan wakilnya, beserta replika burung garuda yang perkasa, sang pengawas pun tengah asyik dan santai memainkan telepon genggamnya. Sambil cekakak-cekikik seolah mengizinkan semuanya berbuat apapun sekehendak hati. Selain itu ia juga mendengar disamping kanan tempat duduknya, Surya, sedang berbisik-bisik dengan teman di depannya, mereka sedang berdiskusi ria, saling tukar jawaban!

Melihat hal itu, Bimo sempat ingin melakukan hal yang sama. Ia bingung, inspirasinya mentok. Ia ingin menanyakan satu atau dua soal pada Surya. Tapi ajaib, ia lebih memilih menahan diri dari keinginannya itu.

Waktu mengerjakan soal kemudian selesai. Satu persatu peserta ujian mulai mengumpulkan lembar soal dan lembar jawaban mereka di meja pengawas. Ketika dalam perjalanan pulang Surya bertanya pada Bimo.

“Bagaimana ujian tadi Nu? Kau kelihatannya sangat asyik, tidak larak-lirik seperti biasanya” Bimo tertunduk

“Aku hanya mengerjakan 4 soal!” jawabnya. Empat soal berarti, 3 soal yang meminta pendapat pribadi, dan yang satu lagi, kemungkinan, hasilnya meragukan.

“Celaka kamu!” kata Surya terkejut. “Kenapa kau tidak tanya-tanya padaku tadi?”
“A-Aku ingin melihat sejauh mana kemampuanku” kata Bimo terbata-bata.
Surya nampak menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir, tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

“Sistem pendidikan kita sedang bobrok, kalau prinsip kau seperti itu hancur kau!” kata Surya “Jangan terlalu memaksakan diri, ikuti arus saja! Realistis!” lanjutnya.

Bimo diam tak membalas nasihat gratis dari temannya itu.
Hari berikutnya, pagi masih menampakkan suasana yang sama. Di kelas, Bimo pun masih menyaksikan hal yang sama. Ada yang sedang menghapal, ada yang sedang berdiskusi. Yang berbeda di hari itu adalah suasana pagi terasa benar-benar sendu. Siulan menyambut pagi, hari ini tak lagi dihadirkan Bimo. Ia masuk, lalu bergabung dengan teman-temannya yang sedang berdiskusi dipojok ruangan. Disana nampak seorang teman sedang menghapalkan materi ujian, sambil komat-kamit tak jelas membuka-tutup buku pelajaran.

“Ayo hafalkan, aku rasa materi ini akan keluar” kata sang teman. Bimo lalu bertanya
“Aku punya pertanyaan. Maksud pendapat orang ini apa ya?” Bimo menunjuk salah satu baris tulisan di buku Ilmu Pengetahuan Alam miliknya, dan kebetulan satu topik dengan apa yang sedang dihafalkan sang teman. Teman yang sedang menghafal itu lalu diam. Ia menghirup napas dalam, lalu mengulangi hafalannya itu.

“Luarbiasa! Sama persis seperti dalam buku! Tapi... Maksudnya apa? Yang kau katakan itu bahasa buku, tak paham aku!” protes Bimo.
“Kau ini! Samakan saja dengan buku! Bisanya protes saja!” jawab sang teman berapi-api. Bimo terkejut dan sedikit emosi mendengar kata-kata yang penuh gertakan itu. Emosi segera ia redam, dan segera ia lepaskan, bersama udara panas yang ia hembuskan dari dadanya. Dia berkata dalam hati ‘Inilah wujud sejati para pencari nilai!’.

Kata-kata dari temannya itu masih menggaung di benaknya. Membangkitkan kata-kata Surya tempo hari ‘Sistem pendidikan kita sedang bokbrok, kalau kau idealis seperti itu hancur kamu! Jangan terlalu memaksakan diri, ikuti arus saja! Realistis!’ akal sehatnya membenarkan ucapan itu, namun jelas-jelas ia menolak budaya menyontek! Tak ada toleransi!

Selama ujian berlangsung. Saat kelas mendapat pengawas yang malas, dan kebetulan sedang tak ada di kelas, maka itu adalah waktu untuk menerapkan prinsip kerja sama, ‘saling tolong menolong’. Semua peserta ujian, saling bertegur bisik-bisik santai untuk memulai diskusi. Ada yang mengeluarkan catatan kecil dari sakunya dan lalu dibagikan ke teman yang lain. Ada juga yang mengeluarkan telepon genggam, sumber pengetahuan tak terbatasnya. Semuanya beraksi memanfaatkan keadaan, semuanya, kecuali Bimo. Bimo fokus tenggelam ke dalam lembar soalnya seorang diri, tak menegur tak pula ditegur, hanya satu lembar soal, satu lembar jawaban, dan satu buah bolpoin di meja yang menemaninya. Namun, karena sikapnya yang berbeda itu, tiba-tiba saja ia mulai merasakan keterasingan. Ia mulai merasa sendiri di kelas itu. Ia merasa prinsipnya malah menyiksanya.


Kalau ia bisa membereskan semua soal mungkin hal ini tak masalah. Tapi sebenarnya dan kenyataannya, ia sendiri kurang pandai dalam tes tulis. Bimo selalu meninggalkan 2 atau 3 soal yang tidak terisi disetiap ujiannya. Itulah masalahnya. ’Lebih baik jujur, tidak bisa, dari pada menyontek’ begitu kata-kata yang selalu ia bisikan pada hatinya sendiri, hatinya pun perlu ditegarkan. Ia sadar bahwa sikapnya berbeda, dan sedang melawan kebiasaan.

Setiap menyerahkan lembar soal ke pengawas. Perasaan ragu selalu menghampirinya. Bayangan bahwa teman-temannya akan mendapat nilai bagus dan mendapat gelar pintar, sementara ia sendiri akan di cap bodoh karena nilainya yang anjlok, selalu berhasil membuatnya bimbang. ‘Melawan atau ikut dalam arus?’

Bimo sendiri sebenarnya menolak cara frontal yang dilakukannya itu. Ia lebih senang mengalir, dan tak suka melawan arus. Alasannya sederhana, karena setiap sikap melawan arus, terlepas itu benar atau salah selalu saja menyakitkan, selalu, dan selalu menyakitkan! Apalagi melihat kondisinya sekarang yang tak pandai mengerjakan ujian tulis. Ia sendiri dikenal sebagai anak yang cukup pintar, setiap tahun ia selalu menempati peringkat 5 besar di kelas. Namun semua itu didapat dari cara yang salah, dan kali ini ia mencoba melawan dan bertahan demi memperjuangkan sesuatu yang menurutnya itu benar.

“Bila aku mendapat nilai buruk setidaknya itu hasil murni dariku, tapi Tuhan pasti memberikan yang terbaik, bagi hambaNya yang mencoba berbuat benar” jawab Bimo ketika ditanya Surya perihal idealismenya itu. Bimo sadar kata-kata itu bukanlah sekadar kata-kata yang ditujukan pada Surya, namun lebih ditujukan pada hatinya, supaya tetap tegar dalam menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi didepan.

Pada hari berikutnya, Bimo belajar lebih giat. Tidak menghapal, tapi berusaha untuk memahami setiap mata pelajaran, dan mengembangkan setiap materi menggunakan bahasanya sendiri. Iapun sudah mengunci diri dari budaya menyontek, dan itu menuntutnya agar mampu belajar lebih keras. Ujian kali ini merupakan Ujian Akhir Semester yang sangat mempengaruhi standar kenaikan kelas. Bila tidak memenuhi standar, maka kemungkinan besar harus tinggal di kelas. Bimo berusaha keras menghindari kemungkinan paling buruk itu.

Hari-hari penuh perjuangan telah berakhir. Setiap orang yang selama ujian sangat bergairah, dan sangat bersemangat belajar, kini kembali ke kehidupan santainya. Hari pengumumanpun telah tiba, pengumuman disebarkan melalui surat ke setiap siswa. Surya mendapat nilai rata-rata 3,8 mendekati nilai sempurna, ia mendapat peringkat pertama dikelas. Ia memang selalu menduduki peringkat 3 besar disetiap tahunnya. Sementara itu salah satu teman yang terkenal tidak terlalu pintar, atau mungkin bisa disebut bodoh, tahun ini mendapat peringkat ke 5! Menakjubkan! Makan apa dia selama ujian? Metode apa yang digunakannya ketika ujian? Misteri. Sedangkan Bimo sendiri tidak diketahui keberadaannya. Setelah menerima surat ia menghilang entah kemana. Surya lalu mencarinya. Ia mendapati Bimo sedang berada di dalam masjid sekolah, ia sedang duduk berdo’a, mungkin sedang mengucap syukur atas nilai yang didapatnya.

“Luarbiasa. Kau memang beda dari yang lain teman, kau langsung bersyukur menghadap Tuhan. Kau berhasil dengan prinsipmu itu Bimo” pikir Surya takjub.
Surya mendekati Bimo. Ia melihat Bimo, punggungnya nampak bergetar dan terdengar suara tangisan. Tak ada sama sekali rona ceria dalam tangisnya itu. Wajahnya mendung, benar-benar mendung. Dalam tangisnya itu, Bimo sadar bahwa Surya sedang berdiri disampingnya, tapi ia tetap mempertahankan tangisannya itu, malah kian menjadi-jadi. Surya dapat mengira apa yang terjadi pada Bimo. Ia agak ragu lalu duduk disamping Bimo.

“A-Aku sama sekali. Ti-Tidak menyesali semua ini Surya. A-Aku tidak menyesal!. Setidaknya a-aku lulus dalam ujian Kejujuran!” kata-kata Bimo menggema di dalam masjid, disambung oleh tangisnya yang meraung-raung. Suasana mendung dihari itu sangat kontras dengan apa yang dirasakan semua orang disana. Semuanya ceria, gembira, karena mendapat nilai yang sesuai dengan harapan mereka. Semuanya kecuali Bimo.

Di suatu pagi di bulan Februari. Cuaca hari itu menampakan kehangatannya, langit di daerah lereng Gunung Ciremai nampak berwarna biru, bersih menghadirkan sang mentari yang cemerlang, menyajikan hangat sinarnya yang menggairahkan. Memicu setiap orang bergerak dan memaksa orang untuk berhenti meditasi ditempat tidur mereka. Burung-burungpun berkicauan menyambut segala kemungkinan di pagi itu. Aku mendengar kabar, bahwa temanku, Bimo akan berkunjung ke sekolah hari ini, ke tempat dimana aku mengajar. Benar saja itu dia! Saat aku melihatnya, aku tak percaya, aku sedang berhadapan dengan teman lamaku!.

Ia berseragam dinas rapih, berambut pendek dan klimis, masih berkacamata seperti dulu, dan kini ia nampak memiliki kumis, dan brewok yang tipis. Tak nampak bekas keculunan dan bekas kutu buku di wajahnya itu. Ia melangkah dengan gagah mendekatiku, melangkah penuh rasa optimis.

“Surya?” ia langsung menegurku, aku menjawabnya dengan senyuman “Surya! Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada 10 tahun? Bukan main” dialah Bimo, perwakilan dari kementrian pendidikan dan kebudayaan nasional. Dia menyalamiku dan merangkulku.

“Ehm... Ba-Baik? Kau masih ingat padaku? Ehm... Ma-Maaf... Bapak masih ingat?” Aku gugup. Aku merasa segan, dan canggung padanya. Status sosial kita sudah berbeda. Secara kasta ia sudah masuk brahmana, sedang aku masih golongan sudra. Aku juga mendengar bahwa ia menjadi orang kepercayaan sang menteri, menambah rasa seganku saja.

“Aku tak akan melupakan sahabatku. Kau tak usah kaku seperti itu, aku masih Bimo yang dulu, yang selalu omong besar, yang selalu protes sistem ini-sistem itu, yang selalu  kena remedial ketika ujian, yang pernah tidak naik kelas! Hahahaa!” Benar, dia tetap Bimo temanku. Ia memberi penekanan pada kalimat ‘yang pernah tidak naik kelas!’ lalu tertawa mencoba mengingatkanku akan kenangan kami pada masa-masa sekolah dulu. Semua teman dimasa sekolahku dulu termasuk aku telah meraih cita-cita yang kami ingin, semuanya,  kecuali Bimo, ia mendapat lebih dari apa yang ia cita-citakan.

“Jadi sekarang kau mengikuti arus?” kataku mulai bersikap biasa, sekaligus penasaran pada prinsip hidupnya.
“Kalau menurutmu, melawan arus itu ‘berani beda untuk hal yang benar’ maka jawabannya, Iya. Aku melawan arus”. Jawabnya santai sambil tersenyum.
Ah... Bimo temanku. Inilah kisah tentangnya. Aku menulis ceritanya karena aku amat mengaguminya. Dia pantas menempati posisinya sekarang. Tak sembarang orang bisa menempati posisi seperti dia. Dapat aku bayangkan sangat sulit, apalagi untuk orang lurus seperti dia. Ia pasti telah melewati banyak rintangan, luka, dan usaha jatuh bangun yang tak terkira.

“...Semuanya yang ada di dunia ini punya batas dan punya waktunya masing-masing, begitu juga dengan metode menghapalkan dan tidak menghapalkan, kerjasama dan tidak. Keduanya punya waktunya masing-masing, gunakan pada tempatnya, dan inti dari semuanya adalah jangan berlebihan. Kau sudah tahu semua itu kan Pak Guru? Awasi terus anak didikmu itu!” kelakar Bimo ketika ia akan pergi menuju kunjungannya yang lain.

Penulis : I. Kar’an

Posting Komentar

0 Komentar