Bertemu dengan Pak Ujang


 
lpm.uniku.ac.id - Pagi hari pada tanggal 9 Februari 2019, saya berkesempatan bertemu dengan Pak Ujang. Saya bersama putra Pak Ujang dan calon istri putranya, menemui Pak Ujang di dalam lapas. Waktu bicara hanya 30 menit, waktu yang singkat untuk dapat berbicara banyak hal dengan Pak Ujang.

Tepat pukul 10.00, kami mendapat bagian besuk. Prosedur ketat dan pertanyaan introgratif melayang dari mulut sipir. Sayang sekali, rencana foto-foto dengan Pak Ujang gagal, karena di dalam ternyata tak memperbolehkan membawa handphone. Saya mencoba melobi, tetapi karena aturan yang ketat, ya sudahlah, mengalah.

Saat saya bertemu Pak Ujang, wajahya terlihat berbeda dengan saat awal bertemu di sidang pertama, kali ini air mukanya menampakkan kebahagiaan. Dia bercerita kepada kami bertiga perihal perlakuan warga lapas kepadanya selepas terjadi aksi. "Saya jadi pusat perhatian, serasa artis", kata Pak Ujang sembari melepas senyumnya, spontan kami bertiga tertawa. Suasana pun menjadi lebih cair.

Di lapas, saya berterima kasih kepada warga dan mahasiswa yang telah mendukung saya, support yang sedari awal Pak Ujang presepsikan takut mengganggu dirinya malah justru mendatangkan banyak hal positif dan ini menjadi titik keberanian Pak Ujang, yang sejak awal mendapat tekanan agar kenyataan sebenarnya tak diungkap.

"Alhamdulilah Pak Ujang, yah.. ini pertemuan kedua saya dengan Pak Ujang dan secara langsung bisa mendapat keterangan langsung dari Pak Ujang." Pernyataan saya membuka obrolan lebih mengarah. Akhirnya Pak Ujang membuka tabir yang selama ini terselebung, "Sejak awal saya disuruh mengaku kayu-kayu itu ditebang oleh saya,  didesak mengaku oleh Inun (Mentri Hutan Desa Cipedes) dengan jaminan tidak akan diapaapakan karena jaminan saya ngaku, karena pandangan saya di Asper hanya ngobrol biasa, bakat ku bodo saya nurut tetapi pas di Asper malah terjadi pernyataan-pernyataan bahwa saya maling kayu," papar Pak Ujang

Pak Ujang melanjutkan bahwa soal itu akhirnya berlanjut dengan negosiasi di Asper Garawangi dengan tebusan sebesar Rp1.500.000 sebagai jaminan, tetapi keluarga tak memenuhi dan dalam beberapa hal, Pak Ujang dipaksa mengakui pekerjaan yang sebenarnya tak dilakukanya.
"Jadi Pak Ujang, yang nebang siapa?" tanya saya.

"Itu bukan saya, saya hanya menebang sebelas pohon di blok hutan garapan saya dan sisanya oleh Perhutani dan itu bibit dari saya, saya yang menanam tidak ada campur tangan mereka, dan mahoni yang saya tebang bukan pokok, itu rawa, samodel tumpangsari dan itu juga untuk kebutuhan rumah bukan untuk dijual," jawab Pak Ujang.

Pak Ujang terus menerangkan, beliau membantah semua tuduhan Perhutani yang mengarah kepadanya dan mencoba mendudukan persoalan yang sebenarnya, "Posisi kayu itu tidak ditimbung tapi direndam di blok katulampa, saya gak paham dalam dakwaan disebutkan ditimbung, mereka Perhutani gegabah sekali dan tidak bisa membedakan direndam dan ditimbun. Saya ini anggota LMDH ada KTH-nya, posisinya kalo saya seperti orang Luragung yang nebang, dia tidak menanam, bibit juga bukan dari dia terus menjualnya itu baru pas disebut maling, lah saya ini jelas anggota LMDH, KTH ada, diakui kepala LMDH Cipedes waktu kesaksian sidang pertama, tetapi aneh waktu penangkapan seolah-olah mereka tidak menanggapinya, jadi pekerjaan saya menghijaukan dianggap apa, dianggap maling?”

Saya tertegun, penjelasan Pak Ujang memberikan jalan terang. Perhutani menjerat Pak Ujang melalui Pasal 81 ayat 1 huruf c Jo pasal 12 hurup c UU RI  No, 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Namun tuduhan itu serampangan, kenyataannya jeratan perhutani tidak tepat.

Kami menghentikan obrolan sebentar, menyeruput kopi yang dipesan putranya dan menikmati sebatang rokok. Pak Ujang dan putranya yang bernama Kasna, juga saya bersama-sama menikmati seruputan kopi dan kebulan asap rokok. Pak Ujang, disela-sela kenikmatan menerangkan kembali, pada hakikatnya beliau tidak melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, kedudukannya jelas LMDH dan perjanjianya juga tertulis di nota kerjasama, beliau membandingkan kasusnya dengan warga Luragung yang dipaparkan di atas, "Kalo saya seperti dia, bibit gak, nanem tidak, nebang iyah, yah silahkanan dipidana," tegas Pak Ujang.

Saya memahami kekesalan Pak Ujang, Perhutani memang gegabah. Kemudian, Pak Ujang menceritakan bahwa sebelum kejadian, sekitar dua bulan sebelumnya, pihak Perhutani, bernama Apep, yang bertugas di Desa Cipedes, menanyakan income kepada beberapa kelompok LMDH. Per
tahun setiap kelompok seolah-olah wajib memberikan uang sebesar satu juta lebih selayaknya upeti dan itu tidak ada perjanjian, pola ini sudah berlangsung lama. Karena pada tahun 2018 Desa Cipedes terkena bencana dan beberapa pohon banyak yang tumbang, dan juga ada penebangan sebelum bencana, lalu blok garapan Pak Ujang terkena penebangan juga, jadi LMDH tidak menggarap hutan tetapi tekanan untuk memberikan uang itu terus ada. Pak Ujang berinisiasi memberikan dan Apep menerima dengan komitmen tidak tertulis, Pak Ujang dipersilahkan menebang. Akan tetapi, Pak Ujang heran karena izin tersebut di wilayah garapan yang notabene bibitnya ditanam oleh dia.
"Saya memberikan atas dasar kasian, dan aAep memberikan janji boleh menebang tetapi nyatanya itu garapan saya, mahoni punya saya. Saya bodoh dan tidak sempat bertanya lebih dalam. Kemudian setelah itu, (saya) membutuhkan kayu untuk rumah saya yang sudah rapuh, jadi (saya) menebang cuman sebelas gak lebih," jelas Pak Ujang.

Pak Ujang teringat pernyataan ketua RT tempat dimana ia tinggal, bahwa Perhutani yang menebang lebih di lahan Cikokol, Pak Ujang mengiyakan dan baru memahami mengapa dia disuruh mengakui soal tersebut, "Jadi kemungkinan besarnya, kayu tebangan pihak petugas Perhutani Cipedes tidak sampai catatannya ke kantor dan semua kelakuan mereka ditimpakan ke saya dan ini kejahatan keji," pungkas Pak Ujang.

Penulis: Che Qohwah

Posting Komentar

0 Komentar