Kembali ke Pribadi Masing-Masing?



Ada seorang mahasiswa Uniku yang bertanya, “Bagaimana menurut Anda sistem pengajaran di Uniku, baik atau buruk?” Lalu orang yang ditanya yang juga mahasiswa Uniku menjawab, “Tergantung bagaimana kita menyikapinya, baik atau buruk kembali ke pribadi masing-masing.” Pertanyaan itu bisa diperluas menjadi apakah perpolitikan di Indonesia itu baik atau buruk? Apakah dosen mata kuliah tertentu baik atau buruk? Apakah membaca buku itu baik atau buruk? Apakah berpacaran itu baik atau buruk? Anda bisa membuat lagi daftar pertanyaan baik atau buruk sampai ribuan. Namun sepertinya hanya ada satu jawaban yang paling bijak di antara semua jawaban, yang paling suci di antara semua kemungkinan, dan yang paling jernih di antara semua pemikiran, “Kembali ke pribadi masing-masing.”

Karena kebijaksanaan, kesucian, dan kejernihannya, jawaban “Kembali ke pribadi masing-masing” menutupi kenyataan yang sebenarnya, bahwa jawaban semacam itu tidak menjawab apapun, tidak memberikan solusi apapun, dan tidak menambah pengetahuan sedikit pun.

Asumsi yang terkandung dalam jawaban “Kembali ke pribadi masing-masing” adalah “Setiap individu memiliki kehendak bebas untuk menentukan keadaan.” Misalkan, jika saya memutuskan untuk berpacaran dengan seorang perempuan, baik atau buruknya hubungan yang saya jalani tergantung dari bagaimana saya menyikapinya. Jika saya setiap hari berkomunikasi dengan pacar saya, kencan dengannya setiap minggu, dan memberikan kado ulang tahun yang luar biasa,  maka hubungan saya akan berjalan dengan baik. Contoh yang lain, jika saya memutuskan untuk mempelajari bahasa pemrograman tertentu, berhasil atau tidaknya tergantung dari bagaimana saya melakukan usaha untuk mencapainya. Jika setiap hari saya latihan membuat program dengan bahasa yang saya pelajari, dengan pengetahuan mengenai logika, algoritma, dan pemrograman dasar, maka dalam waktu beberapa bulan saya berhasil mempelajari bahasa tersebut.

Asumsi dan contoh-contoh yang saya berikan di atas memang benar. Bahkan saya yakin semua orang dapat menerima bahwa hal tersebut benar tanpa perlu memikirkannya dalam-dalam. Semua orang tahu itu, justru karena semua orang mengetahuinya maka jawaban “Kembali ke pribadi masing-masing” seperti yang saya katakan sebelumnya, tidak menambah pengetahuan sedikit pun. Ini seperti mengatakan lingkaran adalah lingkaran, satu adalah satu, pernyataan-pernyataan itu benar, namun tidak menambah pengetahuan sedikit pun. Kita tidak bertambah cerdas dengan pernyataan-pernyataan seperti itu.

Jawaban “Kembali ke pribadi masing-masing” masih sering digunakan oleh orang-orang. Mungkin mereka menggunakannya karena malas menjawab pertanyaan, kurang memahami persoalan, atau bahkan untuk menutupi kekosongan pikiran mereka. Saya tidak melarang Anda untuk menggunakan jawaban “Kembali ke pribadi masing-masing”, Anda bebas untuk menggunakannya. Namun ketika dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan pemecahan, saya sangat menyarankan Anda untuk tidak menggunakan jawaban semacam itu.

Misalkan dalam pertanyaan, “Apakah pengajaran di Uniku baik atau buruk?” jawaban yang  baik bukanlah kembali ke pribadi masing-masing, melainkan situasi konkret tentang pengajaran di Uniku, bagaimana keteraturan jadwal di Uniku, bagaimana cara dosen mengajar, bagaimana keantusiasan mahasiswa dalam belajar, bagaiamana keadaan sumber-sumber yang diperlukan untuk pembelajaran , dan lain sebagainya. Lalu, dari sana Anda menyimpulkan baik atau buruknya. Bahkan, jawaban-jawaban lugas seperti “Baik” atau “Buruk” saja tanpa disertai alasan lebih baik daripada jawaban “Kembali ke pribadi masing-masing”, yang ditanya adalah baik atau buruk dan Anda malah menjawab kembali ke pribadi masing-masing, Si Penanya harusnya bertanya kembali, “Jadi, menurut pribadi Anda, baik atau buruk?”.

Jawaban “Kembali ke pribadi masing-masing” beserta asumsi yang terkandung di dalamnya seperti yang saya katakan di atas, adalah benar walaupun tidak mengandung pengetahuan atau informasi tambahan sedikit pun. Namun kebenarannya hanya dalam tingkatan tertentu, kalau kita menarik asumsi tersebut ke dalam dunia nyata sehari-hari yang begitu kompleks ini, asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Kalau pun pribadi masing-masing individu dikatakan sama, tetap saja keadaan di luar individu tersebut mempengaruhi.

Agar lebih sederhana, saya akan menyatakannya melalui contoh. Misalkan, ada dua orang anak yang sama-sama bercita-cita menjadi ahli matematika. Karena setiap individu mempunyai kehendak bebas untuk menentukan keadaan, yang dalam hal ini berarti berhasil atau tidaknya kedua anak tersebut untuk menjadi ahli matematika tergantung dari usaha yang mereka lakukan. Katakanlah, usaha kedua orang anak tersebut sama, mereka berdua sama-sama berlatih matematika setiap hari, kecintaan mereka terhadap matematika sama besar. Namun terdapat perbedaan, yang satu dilahirkan dari keluarga kaya dan yang satu dari keluarga miskin. Anak yang lahir dari keluarga kaya, tentunya.

mempunyai akses yang lebih luas terhadap sumber-sumber pembelajaran matematika, dia bisa mengoleksi buku para matematikawan dari Euclid sampai Bertrand Russel, dia juga bisa mengenyam pendidikan matematika di universitas terbaik. Sedangkan, anak yang lahir dari keluarga miskin sayangnya mempunyai akses terbatas terhadap sumber-sumber pembelajaran. Sumber yang dia dapat mungkin hanya buku pembelajaran untuk SMP. Boro-boro masuk universitas, sekolah pun tak tamat. Mana yang akan menjadi ahli matematika? Lihatlah, walaupun “pribadi” dari masing-masing anak sama tetapi hasilnya berbeda. Berarti jawaban “kembali ke pribabadi masing-masing” untuk kasus ini harusnya menjadi “kembali ke pribadi dan kondisi ekonomi masing-masing”.

Begitulah. Jawaban “Kembali ke pribadi masing-masing” selain tidak memberikan pengetahuan atau informasi tambahan apa-apa, juga tidak sepenuhnya benar. Hal-hal di luar pribadi masing-masing juga mempengaruhi. Berhentilah menggunakan jawaban semacam itu untuk persoalan-persoalan yang menuntut jawaban definitif. Anda mungkin terlihat bijak, sebelum orang-orang menyadari bahwa apa yang Anda katakan adalah omong kosong.

Penulis: Tri Asep Tumbara

Posting Komentar

0 Komentar