Sajakku
Masih Tentang dirimu Rin…
“Dalam ruang yang tak
pernah Tuan pijak. Dalam ruang yang tak pernah Tuan arahkan. Aku termangu tanpa
beban. Aku membawanya tanpa perasaan.” Gumam
seorang gadis mungil dibalik jendela tua kamarnya. Ia merasakan
keresahan dalam hatinya, entah karena apa, jelas banyak hal yang mengganggu
hati dan pikirannya.
“Nim……… ambilkan jarum dan benang nak di meja kamar ibu….”
Perintah ibu yang sedang bersiap
membereskan kain hasil jahitannya kemarin sore.
“Iya bu…”
sahut Sahnim.
Yaaa Sahnim. Nama gadis mungil dibalik jendela itu, gadis periang yang pandai
menyembunyikan seluruh isi hatinya. Bahkan dihadapan seseorang yang ia kagumi
pun ia tetap tak menunjukan perasaannya. Bukan ia pura-pura hebat hanya saja
menyimpan lebih baik ketibang mengutarakan namun berujung kandas. Hal itulah
yang mendasari perasaannya untuk tetap mengagumi seseorang itu secara
diam-diam.
Pagi itu, kabut masih menyelimuti malasnya. Diam-diam
selimut tertarik oleh tangan yang selalu memanjakan dirinya. Ia sangat malas
bangun pagi. Ia benci pagi karena indahnya mentari pagi sempat merenggut orang
yang dikasihinya. Pagi yang kerap indah menyapa mata coklatnya seketika berubah
menjadi sambaran petir yang menimpa dirinya. Mata yang selalu terbuka dimana ia tengah terbiasa merasakan semilir udara pagi,
mata dimana ia menatap mata dunia muncul dihadapannya, mata yang selalu
membawanya pada keindahan ciptaanNya. Kala itu membuka mata baginya bukan lagi
suatu keindahan, disampingnya, disamping
mata yang selalu terbuka tengah terkapar
tubuh yang kaku dan membiru, tubuh
disampingnya terasa dingin, mata disampingnya tertutup rapat tak bisa menatap
lagi dirinya. Entah tubuh siapa. Entah mata siapa. Jelas dengan tubuh yang
terkapar tak bernyawa hilang dari
hidupnya, membuatnya serasa mati suri untuk beberapa tahun silam. Namun
sekarang bukan tentang persoalan siapa yang terenggut dan siapa yang merenggut
kala itu. Ia sudah mengikhlaskan semua yang hilang dari hidupnya. Ia juga
termasuk sosok yang pandai mengubur masa kelam. Namun tak berarti ia pandai
melupakan, itu hanya salah satu caranya membuang rasa pedih dalam hidup. Ia hebat karena sekarang ia berhasil bangkit
dari keterpurukan yang menimpanya.
“Manusia hidup
sama dengan manusia yang layaknya tengah
mengarungi riuh ombak di samudra terbesar di dunia, bahkan bisa lebih dari
itu.” Kalimat itu tidak hanya teriang di pikiran Sahnim, namun selalu ia rasakan
dan ia arungi dalam setiap langkah kakinya, dalam setiap detak jantungnya. Selepas dari pengalaman beberapa tahun
silam, ia mampu hidup kembali namun tak berarti ia lepas dari setiap ujian
hidup. Baginya ujian dalam hidupnya seperti teman sejati yang selalu menemani
kemana pun ia beranjak. Begitupun yang
dialaminya sekarang, sepertinya ini terlalu ringan bagi orang yang tak
merasakan kisahnya Sahnim. Yaaaa memang yang dialaminya sekarang tidak
sebanding dengan apa yang ia rasakan dulu ketika petir kehidupan menyambarnya.
Tapi anggapan itu berlaku jika di pikirkan selintas saja. Pun kini ia
sebenarnya merasa diburu dengan rasa
yang tengah egois dalam dirinya. Soal hati, cinta, kasih, dan perasaan siapa
yang bisa menerka?
Setiap manusia punya kasih…. dari orang-orang yang
terkasih. Kini Sahnim pun memiliki namun tak sesempurna layaknya perempuan
lain. Mengapa? Apa karena ia tak mendapatkan kasih dari Ayah
dan Ibunya? Tentu bukan.
Justru Ibu dan Ayahnya lah yang selalu
menguatkannya. Sahnim terjebak dalam zona yang menjeratnya hingga tak bisa
beranjak begitu saja.
Berawal dari masa ketika ia menjadi mahasiswi salah satu
Universitas ternama di Indonesia, ketika ia masih beradaptasi dengan lingkungan
kampus, ia merasakan hal yang wajar ketika menyukai mahasiswa yang ada disana.
Namun rasa suka terhadap beberapa orang yang ia kenal hingga kini semakin
terasa basi saja. Banyak faktor yang mendasarinya, salah satunya rata-rata
mahasiswa yang dekat dengannya terlalu possesif dan banyak mengatur setiap
aktivitasnya. Sahnim bukan tipikal orang yang suka diatur-atur, apalagi bukan
siapa-siapanya, hanya sebatas teman dekat yang saling support. Mendapat
perlakuan seperti itu Sahnim merasa risi, hingga memutuskan untuk menjaga jarak
dengan temannya yang selalu mengaturnya.
Waktu berlalu,
ia menjalani aktivitas
sehari-hari dengan riang terutama di lingkungan kampus karena selalu ada kawan
yang membuatnya tertawa lepas. Baginya seorang sahabat adalah Sesuatu yang
berharga, karena
dengan adanya sahabat ia bisa mencurahkan segalanya termasuk masalah yang ada
di rumahnya. Namun ternyata tak cukup
dengan sahabat saja. Lama kelamaan ia merasa sunyi. Apalagi ketika
sahabat yang lain sibuk dengan kekasihnya masing-masing. “Hmmmm sudahlah biarkan mungkin mereka sedang asyik-asyiknya jatuh
cinta.” Ujarnya dalam hati. Sambil
ia berlalu meninggalkan kelas yang sudah tak berpenghuni kecuali dirinya.
Siang yang terik, Sahnim sedang bertugas menjaga salah
satu stand untuk kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasinya dikampus
tepat di depan gedung fakultasnya. Ia sudah tidak nyaman dengan aktivitasnya
yang monoton sejak pagi tadi. Sesekali ia memainkan ponselnya dengan muka
kecut.” Hmmm ternyata chating juga sama
saja membosankan” satu kalimat yang ia kirim di status WhatsAppnya. Ia meletakan
ponsel di atas meja yang disediakan di stand tersebut.
Menit berlalu, salah
satu sahabatnya datang lalu menemani Sahnim duduk menjaga stand. Berkali-kali
Sahnim menguap karena suasana kampus yang sepi membuatnya mengantuk tak tahan.
Tepat menguap yang ketiga kalinya, laki-laki dengan postur ramping dan rambut
yang rapi dan mengkilat melintas dihadapannya, dekat sekali, hanya berjarak
sekitar 2 meter saja. Sahnim merasa ada yang aneh begitu saja kepada laki-laki
yang tadi melintas dihadapannya.
“Ta..ta coba kamu ingat-ingat deh laki-laki
tadi yang sempat melintas ke depan stand meja kita” sambil menepuk-nepuk
tangan Ita dengan girang.
“yang mana si Nim?” Tanya
Ita.
“Masa kamu ga nyadar si Ta itu laki-laki tadi yang pake
jaket orange” jawab Sahnim
“Oh si Rino… Aku kira siapa. Kenapa
emang Nim? Kamu suka ya Nim sama Rino?? Ayo jawab!! dari mukamu aja udah
keliatan Nim jangan bohong sama sahabat sendiri” ujar
Ita Sambil menertawakan Sahnim.
“Ahh kamu Ta udah tahu dari muka aku, masih
aja nanya.” Pangkas Sahnim sambil menunjukan muka percaya dirinya. Sahnim
tiba-tiba terengah lalu bertanya pada Ita.
“Btw Ta ko kamu tahu si sama laki-laki yang
tadi lewat, Rino ya namanya?”
“Iya dia Rino. Iyalah aku tahu dia kan se-jurusan sama aku, tapi dia kakak tingkat aku
si… Cuma tahu aja namanya kalo kenal banget si nggak Nim”
Jawab Ita.
Mendengar jawaban Ita Sahnim semakin penasaran
ternyata Ita temannya sendiri tahu kepada laki-laki tadi yang ternyata bernama
Rino. Seketika topik pembicaraan mereka berubah jadi membahas tentang laki-laki
itu. Tak terasa 1 jam berlalu hingga
percakapan sudah melebar kemana-mana sampai Ita memberi tahu siapa perempuan
yang kini tengah dekat dengan Rino. Tapi Sahnim masih belum puas, ia masih
penasaran ingin mengetahui tentang Rino.
Azan tengah berkumandang menunjukan waktu salat Asar. Atas permintaan
waktu dan kewajiban melaksanakan beribadah Sahnim segera mengakhiri
percakapannya tentang Rino dan menutup standnya. Mereka segera menuju arah
masjid kampus yang letaknya di belakang stand tempat ia duduk.
Baru saja Sahnim selesai salat dan tepat tengah
melipat mukena yang sudah dipakainya. Tak sengaja ia menatap kearah tempat
salat jemaah laki-laki. Ternyata laki-laki bernama Rino itu mucul kembali dalam
pandangannya.
”Ya ampun itu laki-laki
yang tadi, Ya Allah aku hanya bisa memohon doa kepadamu untuk kau kabulkan segala
permintaan yang telah aku bisikan padaMu Ya Allah” Gumam Sahnim dalam
hatinya dengan ekspresi wajah penuh
harap.
Hingga sedang memakai sepatu pun di serambi masjid Sahnim tetap membahas Rino
pada Ita. Dengan tidak menyebutkan nama “Rino” Karena khawatir ada orang lain
yang tidak sengaja mendengar percakapan mereka berdua. Serambi meninggalkan
bisik Sahnim dan Ita yang samar terdengar hanya vokal o dan o saja.
Hari itu berlalu. Hari dimana Sahnim merasa aneh pada
perasaannya terhadap laki-laki yang sempat melintas dihadapannya dengan jelas.
Semalaman ia masih memikirkan laki-laki itu, ia terasa beda dari laki-laki
lainnya. Hanya ada satu cara yang bisa dilakukannya saat itu. Sahnim mencari
informasi tentang Rino di media sosial. Dari mulai facebook, instagram ia
meluapkan rasa penasarannya di ponsel kesayangannya. Setidaknya ia sedikit tahu
tentang Rino meskipun hanya melalui media sosial tersebut. Ternyata memang
benar Rino kekasih dari salah satu kakak tingkatnya Sahnim yang satu jurusan
pula. Ya memang yang menjadi kekasihnya Rino saat ini memang lebih cantik dari
Sahnim. Namun hal itu tidak menjadi faktor bagi Sahnim, ia tak peduli terhadap
siapa pun yang tengah dekat dengan Rino.
Ia hanya mengagumi Rino, tidak untuk
mengganggu hubungannya dengan perempuan lain sekali pun kekasihnya.
Hari.. bulan.. berlalu begitu cepat namun tetap Sahnim
masih mengagumi Rino. Tidak ada satu hal pun yang melunturkan rasa kagumnya
pada Rino. Entah apa faktor dari semua ini, Sahnim semakin bingung entah ia
harus sampai kapan mengagumi laki-laki itu sedangkan laki-laki itu sendiri pun
tepatnya Rino tidak pernah mengetahui keberadaan Sahnim yang tengah mengagumi
dirinya. Sahnim merasa lebih bangga ketika Rino tidak mengetahui kagumnya itu.
Memang Sahnim sangat pandai dalam menyembunyikan perasaannya. Ia bahkan seolah
tidak peduli lagi pada perasaannya sendiri karena ia sanggup menahan rasa kagum
rahasianya dalam waktu yang tidak sebentar.
Hampir satu tahun berlalu bukan waktu yang singkat
bagi manusia di muka bumi ini. namun Sahnim tetap merasa nyaman dengan rahasianya.
Hanya satu teman Sahnim yang mengetahui, entah temannya yang bernama Ita itu
amanah atau tidak dalam menjaga rahasia Sahnim, Sahnim tidak begitu peduli
terhadap amanah atau tidaknya Ita padanya,
Yang jelas bukan ia yang mengakui sendiri pada Rino bahwa ia tengah
mengaguminya. Sejauh ini mungkin Ita masih dapat dipercaya, karena belum ada
kabar di kampus yang menyatakan bahwa Sahnim menyukai salah satu anak jurusan
bahasa dan sastra asing itu.
Suasana kampus yang riuh dengan aktivitas para
mahasiswa hilir mudik dengan berbagai kesibukan. Ada yang mengerjakan tugas
kuliah di halaman, ada yang berjalan menuju kantin, ada pula yang asyik
bercakap-cakap dengan teman-teman sekelasnya. Lain dari aktivitas mahasiswa
lainnya, ada seorang laki-laki yang asyik tengah memainkan ponselnya dengan
bermain game yang sedang terkenal kala itu. Siapa lagi laki-laki yang selalu
menjadi objek Sahnim jika bukan Rino. Ya Rino!! Mahasiswa bahasa dan sastra
asing yang kini masih menjadi sosok yang dikagumi Sahnim. Rino tengah duduk di
ujung gedung fakultasnya, mengenakan kemeja ungu keabuan, tapi apapun kostum
yang Rino kenakan tetap tidak mengubah fokus Sahnim pada rambut yang langkanya
itu. Kala itu Sahnim menuju toilet, kebetulan ujung gedung itu sejajar dengan
pintu toilet yang akan dimasuki Sahnim. Langkah kaki Sahnim sebenarnya
diperlambat agar bisa menatap wajah Rino lebih lama. Namun jika itu
dilakukan secara berlebihan, tentu Rino
akan merasa risi dan aneh pada Sahnim, yang baginya Sahnim adalah orang asing
yang tak dikenalnya sama sekali.
Lama Sahnim di toilet karena ia sengaja, mengapa?
Bukannya lebih beruntung jika Sahnim keluar lebih cepat, bisa segera menatap wajah Rino?
Tidak! Karena menatap Rino hanya berkesempatan beberapa detik saja, sedangkan
mendengarkan jeritan histeris main gamenya Rino itu sudah membuat Sahnim
kegirangan. Hingga Sahnim keluar dari toilet ternyata Rino masih berada di
tempat yang sama. Apalah daya, Sahnim tidak bisa menyapa Rino karena mereka
tidak saling kenal, jangankan untuk menyapa, memberi senyum pun Sahnim tak
berani.
Angin berlalu begitu saja meninggalkan aroma Rino yang
sempat tercium ketika Sahnim keluar dari toilet. Ternyata bukan hanya satu atau
dua kali Sahnim mendapati kesempatan berpapasan dengan Rino. Bahkan dalam satu
hari pun sempat berapapasan 4 atau 5 kali, karena kebetulan kelas mereka
berdeketan hanya terpisah oleh ruangan dosen saja.
Ketika sesekali gadis mungil itu berpapasan dengan
Rino di koridor kampus atau pun di tangga dekat kelasnya, Sahnim hanya mampu
berbisik, menjerit,
dalam hati melontarkan bahwa ”Ya Allah
aku mengaguminya.”
Bahagia tentu ketika Sahnim dapat melihat Rino, namun
yang ia lakukan hanya dapat melihatnya dari kejauhan, mengaguminya dalam diam.
Lebih menyakitkan Sahnim sempat melihat dari kelas lantai dua ketika Sahnim
tengah asyik bercanda dengan teman-temannya, Rino melintas di bawah kelas
Sahnim, membonceng kekasihnya dengan romantis. Hal itu kerap dialami Sahnim,
hingga hal itu menjadi hal yang sudah
biasa bagi Sahnim.
Tepatnya di akhir bulan Mei lalu. Sahnim tengah sibuk menyelesaikan tugas
kuliahnya di pekarangan kampus. Laki-laki itu kembali mengganggu fokus Sahnim.
Rino kembali melintas disekitarnya. Bola mata Sahnim bergerak kemana pun mengikuti
arah gerak Rino yang tengah sibuk berjalan kesana kemari seperti sedang banyak
hal yang ia selesaikan. Pun ketika Sahnim berjalan menuju kelas dari arah kanan
ia melintas, tepat melintas dihadapan Sahnim yang hanya berjarak sekitar 50 sentimeter. Ini bukan hal
biasa bagi Sahnim, ini bukan rezeki kecil lagi sungguh… Namun sudah berasa durian
runtuh dan bumi berpihak pada Sahnim.
Hingga 5 kali hari itu Sahnim mendapati kesempatan melihat Rino. Tentu
Sahnim kegirangan pada temannya yang mengetahui kekaguman Sahnim pada Rino.
Sahnim mengakhiri aktivitas kampus dengan sumringah karena ia
mendapati hal yang menjadi sumber bahagianya.
Setibanya di rumah Sahnim menyiapkan makanan untuk
makan sore. Baru saja ia menyimpan gelas yang tengah ia teguk air mineralnya.
Ponselnya bergetar mendapati pesan WhatsApp masuk dari salah satu temannya
yaitu Ita.
“Nim.. Rino kecelakaan, tabrakan di motor” isi pesan dari Ita.
Seketika Sahnim terkulai lemas mendapati kabar buruk
itu. Ia tentu kaget karena baru saja dua jam yang lalu ia melihat Rino menuju
parkiran kampus.
“Tak menyangka ternyata
selepas aku mengakhiri pandanganku padanya, setelah itu ia mendapati musibah”
gumamnya.
“Serius Ta? Dimana? Kok bisa? Penyebabnya apa?” balas
Sahnim.
“Aku dapet info dari grup kelas, Katanya di
daerah pantura sana Nim, sama pacarnya dia” balas Ita kemudian.
“Sudah kuduga ia pasti
bersama kekasihnya yang kerap ia bonceng di kampus”
balas Sahnim pada Ita.
”Ta… aku kesel ke diri
aku sendiri. aku kesel karena aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya untuk mengucapkan cepat sembuh
saja aku tak bisa. Aku hanya bisa memandangi profil WhatsAppnya. Jelas terlihat
di profilnya ia terakhir membuka WhatsApp pada pukul 6 sore. Mungkin itu waktu
selepas ia makan sore bersama kekasihnya Taa….”
Sahnim kembali mengirimkan pesan pada Ita yang menjadi satu-satunya teman yang
mengetahui kagumnya Sahnim pada Rino.
“Sudahlah Nim…ucapan seperti itu tidak begitu
penting. Yang lebih penting dan lebih kuat doa kamu Nim… doa kamu akan lebih
kuat pada Rino untuk kesabaran dan kesembuhannya ketimbang ucapan cepat sembuh
belaka” Ita lagi-lagi selalu
menenangkan Sahnim.
Hari setelah Sahnim mendapat kabar buruk itu, hingga
sekarang belum berkesempatan kembali melihat Rino walau pun dari kejuahan.
Sahnim tak tahu kabar Rino sekarang, karena teman-temannya pun sulit
berkomunikasi dengan Rino. Yang biasanya Sahnim mengikuti aktivitas Rino via media sosial kini sangat sulit,
karena kemungkinan ponselnya rusak pada saat kecelakaan, itu terlihat jelas
dari profil WhatsApp yang terakhir Rino
buka pada saat sebelum kecelakaan. Kini.. satu-satunya cara yang selalu Sahnim
lakukan, tak bisa kembali ia lakukan. Seluruh akun medianya off total.
“Padamu… aku mengagumimu
dengan tulus
Padamu… aku menatapmu
dari jauh
Aku rindu itu!
Aku pengagum rahasiamu.
Aku mengagumi tanpa
pamrih!
Biar saja ini menjadi
rahasiaku.
Aku tak peduli jika kelak kau tahu akan cerita
ku.
Aku tak peduli jika kelak
kau tak suka dengan caraku.
Aku tak peduli! Karena
aku mengagumi tanpa pamrih!
Aku mengagumi mu tapi aku
tak memintamu untuk mengagumiku!
Biarkan….
Mengagumimu menjadi
urusanku, namun jika mengagumiku tidak menjadi urusanmu, aku tak peduli!”
Sahnim-
2018.