ESAI: BAROK, DAN POTRET KESENJANGAN SOSIAL

LPM.UNIKU.AC.ID - Lakon drama ‘Barok: Tidak Bodoh, Tapi Tidak Tahu, Sebab Tidak Pernah’, pada awal 2017 lalu, dipentaskan di Gedung Kesenian Raksawacana Kuningan. Sebuah pementasan drama yang disajikan kelompok Teater Sado ini sanggup menarik begitu banyak perhatian penikmat seni pertunjukan, dan juga masyarakat pada umumnya. Tak tanggung-tanggung sebanyak 14.000 penonton, tercatat menyaksikan pementasan yang digelar sebanyak 21 kali pentas itu. Sebuah prestasi dan capaian luarbiasa bagi kelompok teater daerah. Hal ini jelas merupakan cerminan kedisiplinan manusia-manusia yang bergelut didalamnya, dan cerminan betapa baiknya manajemen keproduksiannya. 
Drama Barok, merupakan karya dari seorang maestro Aan Sugianto Mas yang pementasannya sendiri disutradarai langsung olehnya. Kisah Barok adalah kisah ironi kemanusiaan. Kisah seorang pemimpin rampok tak berpendidikan bernama Barok, yang berubah menjadi ‘orang lain’ demi cintanya pada seorang gadis bernama Yani, anak seorang pejabat. Namun sayangnya, keduanya ada dibelahan dunia yang berbeda. Yani berada di sebuah dunia dengan tatanan super ideal, terang, dan dunia yang serba mudah, sebagai anak pejabat yang bergelimang harta, segala bentuk keinginan dipastikan tidak ada yang mustahil baginya. Sementara Barok hidup diemperan dunia, dibagian dunia yang paling curam, dimana hukum rimba adalah yang utama, gelap, penuh cadas yang keras, tak ada istilah menumpuk harta baginya, definisi hidupnya adalah ‘hidup untuk hari ini’.
Bagi Barok, perbedaan-perbedaan itu jelas adalah sumber masalah, dan resikonya Barok yang melarat mesti mencari alternatif lain, setidaknya mencari cara untuk bisa menyesuaikan diri menghadapi dunia sang pujaan hati. Tapi proses adaptasi haruslah cepat karena keinginan sudah tak bisa ditahan. Akhirnya jalan pintas yang instanpun ditempuhnya. Barok yang buta huruf itupun, akhirnya menyibukkan diri belajar, ‘belajar tahu tentang orang kaya’. Tak ada waktu lagi mempelajari semuanya dengan cara konvensional. Dengan caranya Barok yang seorang pimpinan preman kemudian bertransformasi menjadi konglomerat kaya pemilik perusahaan besar, mempunyai kendaraan-kendaraan mewah, bergelar Ph.D lulusan universitas Amerika, dan seabreg titel bergengsi lainnya. Untuk pertama kalinya pimpinan rampok itu memakai kedok kepura-puraan, menjadi orang lain, dan untuk menyempurnakan penyamarannya, iapun mengubah namanya menjadi Karnadi. Semua itu dilakukannya demi bisa masuk dan tenggelam di dunia yang bersebrangan dengannya, tenggelam di dunia Yani.
Para pembaca yang budiman, tulisan saya ini tidaklah akan membahas kesuksesan pementasan Barok, yang memang sudah banyak sekali dibahas di media cetak atau di media informasi lainnya. Bukan pula membahas Barok dari segi akademik struktur instrinsik atau ekstrinsiknya. Melainkan yang hendak penulis bahas adalah sebuah gagasan sederhana yang terkandung didalamnya, berkenaan tentang isu hidup hubungan antara “mereka yang berpunya dan mereka yang tidak berpunya”. Gagasan sederhana inilah yang kemudian berkembang dan menjadi kegelisahan dalam benak penulis.

MEREKA YANG TIDAK BERPUNYA
Perkembangan manusia dari awal kemunculannya memanglah bergerak dengan sangat cepat. Berawal dari dataran Afrika dan Asia Tengah, mereka memulai hidup, lalu menyebar ke segala penjuru dunia. Menyebar mengembangkan kebudayaan dan peradaban. Pada kesempatan berikutnya perkembangan itu pun akhirnya ikut menciptakan sistem atau aturan-aturan dalam tatanan kehidupan sosial. Salah satunya tentang aturan penggolongan manusia. Diantara banyaknya bentuk penggolongan manusia, satu yang begitu populer sepanjang masa adalah penggolongan berdasarkan ‘keberpunyaan materi’. Sebuah sistem penggolongan paling tua dan masih juga diterapkan sampai dengan sekarang.
Mereka yang berpunya’ dan ‘mereka yang tak berpunya’ adalah dua istilah yang bisa digunakan untuk menjelaskan penggolongan ini. Pada awalnya semuanya bergerak secara dinamis, tanpa ada perubahan drastis dan semuanya merasa tidak ada yang perlu dipermasalahkan akan hidupnya masing-masing. Mereka yang berpunya hidup dengan perkara-perkara besar, dan menjadi saudagar-saudagar dalam perdagangan. Mereka yang tak berpunyapun menjadi seorang pebisnis, dan pengusaha walau hanya dalam skala kecil. Ada pula diantara mereka yang bekerja sama dengan dasar saling percaya. Tetapi setelah dunia mengenal mesin, dunia secara tiba-tiba bergerak dengan sangat cepat, dengan sangat cepat. Pada masa itulah, seluruh manusia mulai merubah pandangan hidup mereka, menghadapi suatu perkembangan yang sama sekali baru, perkembangan yang menawarkan kemudahan disegala hal. Revolusi industri-pun dimulai.
Dunia berubah, semua yang ada didunia masuk pada era industrialisasi. Para saudagar besar mulai mempekerjakan mesin dan meninggalkan partner-partner kerjanya. Namun bagi mereka yang sudah terbiasa ‘ikut bekerja’, dan sudah nyaman di hidupnya, fenomena itu adalah bencana, karena jika mereka keluar dari pekerjaan, artinya pendapatannyapun terputus, berakhirlah sudah hidupnya. Maka merekapun akhirnya bersaing dengan mesin-mesin. Dan demi merayu bekas rekan kerjanya itu, merekapun rela diberi upah berapapun asal cukup untuk menyambung hidup. Sayang, rayuannya itu dikemudian hari malah menjadi aturan dan patokan yang mengikat hidup mereka. Mereka menitipkan hidupnya ke para pemilik modal, kepada mereka yang berpunya.
Kisah awal mula revolusi industri diatas memang sengaja tidak penulis paparkan lebih lanjut. Namun setidaknya berawal dari peristiwa itulah, perbedaan antara mereka yang berpunya dan mereka yang tak berpunya menjadi semakin terlihat jelas. Berawal dari tempat industri, meluas ke segala segi kehidupan manusia. Mereka yang berpunya dengan segala kekuasaannya seolah-olah menjadi ‘Yang Maha’. Segala hak asasi manusia, nampaknya mudah sekali diraihnya, hak berbicara, hak mengenyam pendidikan, hak mendapat perlindungan hukum, semuanya seolah-olah tak pernah jadi masalah. Namun sayang, semua hak-hak dasar bagi manusia itu berubah jadi sulit, dan berubah jadi masalah bagi mereka yang tak berpunya. Rasanya pendapat penulis diatas begitu subjektif, tapi inilah realitasnya. Hingga pada akhirnya neraca keadilan pun miring, dan ketimpangan terjadi disegala tempat.
Inilah yang terjadi di tempat tinggal sang Barok, dimana kemiskinan dan kemelaratan menampakan dirinya dengan sangat jelas. Lingkungan yang tak terurus, kotor, sampah berserakan dimana-mana, rumah-rumah kumuh yang dibangun secara sembarangan. Sungai yang melintang di kampung itu berwara coklat, beraroma bacin, kotor, karena telah menjadi tempat pembuangan sampah, telah menjadi tempat membuang kotoran, namun uniknya sungai itu masih menjadi tempat cuci-mandi, dan tempat mencari ikan bagi warga-warganya. Kondisi lingkungan seperti ini, secara tak langsung, telah mencerminkan kondisi hidup para manusia yang menempatinya. Warga-warga yang terbelakang dalam masalah perkembangan hidup. Warga sudah terbiasa dan bahagia tinggal disana, malah jika ada yang mengusik kediamannya maka mereka tak segan murka, terlebih pada para pejabat. Ketika sedang berbincang, warga lebih senang menggunakan bahasa keakraban yang kasar. Pekerjaan sebagai pengemis, pencari sumbangan liar, dan pengangguran, semuanya melimpah disana. Namun dari semua pekerjaan yang ada hanya satu pekerjaan yang paling dihormati warga, menjadi seorang preman atau rampok.
Diluar itu semua, yang menjadi ironi pada kampung sang Barok adalah, bahwa tak jauh dari kampung kumuhnya itu, berdiri kokoh tembok beton tebal nan tinggi, yang didalamnya hidup sebuah peradaban beradab. Berdiri perumahan elit kaum kaya raya, kediaman para pejabat, sekolah-sekolah, dan segala fasilitas penunjang hidup yang ideal. Dua peradaban berbeda yang hanya dipisahkan sebuah tembok beton.
Merasa familiar dengan gambaran diatas? Peristiwa ini memang terjadi dimana-mana, tidak mengenal tempat.

MATINYA RASA PEDULI
Begitu banyak teori yang menyatakan penyebab-penyebab terjadinya kesenjangan sosial. Namun tanpa merendahkan itu semua, penulis berpendapat ada satu poin yang sebenarnya menjadi dasar kenapa kesenjangan sosial bisa terjadi. Adalah, karena telah matinya rasa peduli diantara individu-individu manusia. Dan perlu kita perhatikan, akar dari kesenjangan sosial bukan pada persoalan kepemilikan materi. Keduanya sudah hadir dari zaman sebelum nabi sampai dengan sekarang, ibarat hukum alam yang pasti akan selalu ada, dan akan selalu berdampingan, bagai siang dan malam, ada dan tiada, gelap dan terang, yin dan yang. Oleh karena itu akar dari masalah kesenjangan sosial bukan pada persoalan antara mereka yang berpunya dan mereka yang tak berpunya, bukan tentang kepemilikan materi, melainkan pada persoalan kepemilikan rasa peduli.
Kita bisa berbicara panjang lebar mengenai sistem-sistem ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem pendidikan. Namun selama komponen terkecil dari negara, yaitu orang-orangnya, belum mampu peduli terhadap sesama dan terhadap realitas kehidupan, maka semua gagasan-gagasan tentang keadilan sosial, hanya akan jadi kembang hiasan di kerajaan utopis saja. Sebuah penyakit mental masyarakat kita, yang menggambarkan karakter sebuah negara, salah satunya adalah, ketika rasa kepedulian yang dimilikinya cenderung lebih diarahkan kepada dirinya sendiri dan kepentingannya pribadi. Seperti halnya sikap Camat Kosim yang selalu merasa benar, serta selalu memerhatikan penyebutan gelar yang ia miliki dan senantiasa menghardik mereka yang salah menyebutkannya. Inilah salah satu ironi sederhana yang seringkali hadir didepan mata telanjang kita.
Terlepas dari ke ‘aku’ an yang selalu menghiasi hidup kita, alihkanlah sejenak pandangan kita. Lihatlah keluar, lihatlah fenomena sosial disekitar. Betapa banyak mereka yang butuh bantuan, pertolongan, atau setidaknya perhatian dari kita. Tak perlu jauh-jauh mereka semua ada didepan, dibelakang disamping kiri dan kanan kita, sahabat, orang tua kita, kerabat, putra-putri kita, para tetangga yang hidup berdampingan dengan kita. Coba perhatikan hidup mereka, pandangilah dunia dalam sudut pandang mereka. Setidaknya berawal dari hal dan perkara sederhanalah, hal-hal besar dapat terwujud dan bertahan dalam kekokohan zaman. Memang bukanlah perkara mudah, memandang kepentingan orang lain sama pentingnya dengan kepentingan kita pribadi. Terkadang banyak sekali pertimbangan-pertimbangan dan alasan-alasan yang menjadi sandaran kita dalam bersikap. Tapi ingatlah sebagai makhluk sosial yang berakal, ketika melihat seseorang tersenyum dan bersyukur karena perbuatan dan keberadaan kita, itu semua rasanya sudah cukup mengganti semua hal yang telah kita lakukan. Dalam kekompleksan hidup, dan kerumitan dalam bersikap, menjaga keseimbangan neraca keadilan tetap menjadi agenda yang selalu patut dicoba, dan harus terus dicoba.

MANUSIA PENCOBA
Sebagai makhluk pencoba, manusia selalu menuntut akan perubahan di dunia ini. Perubahan kearah yang lebih baik tentunya, bukan sebaliknya. Coba kita lihat semua hal di dunia ini, semuanya berubah tak ada yang benar-benar tak berubah. Cara berpakaian manusia, model-model pakaian manusia, semuanya berubah, dari zaman tradisional sampai dengan sekarang, mungkin yang paling mendasar seperti ‘bahwa manusia dari dulu sampai sekarang tetap membutuhkan pakaian’ adalah salah satu hal yang tidak pernah berubah. Seperti pada hidup Barok, seorang pimpinan rampok yang mencoba peruntungan lain. Menjadi seorang penipu, seorang Karnadi.
Barok : Kiii... Mulai sekarang panggil aku Karnadi
Aki : Maksudmu?
Barok : Aku mau jadi Karnadi
Aki : Mau menipu juga?
Barok : Tantangan Ki... tantangan. Peluang yang belum pernah aku coba yaaa itu
Aki : Edan kamu Barok!
(awal dan akhir bagian ke.2)
Diluar perubahan itu menjadi jelek atau menjadi bagus, kata mencoba akan selalu ada sebagai penanda bahwa kita akan mengalami perubahan. Namun memang salah satu dasar manusia tentang harkat dan martabat, kehormatan, dan harga diri, seperti analogi kebutuhan pakaian tadi hal-hal dasar itu akan selalu ada menghiasi diri manusia. Walau ada sedikit pergeseran, tapi dapat dipastikan kehormatan manusia tetap akan terjaga eksistensinya.
Adalah ketika kehormatan Barok terusik, lalu sikapnya malah memperburuk keadaannya sendiri. Barok yang menyadari jurang pemisah antara dia dan Yani terus meneriaki dirinya sebagai ‘orang bodoh’. Aki kemudian datang, dan menyadarkannya bahwa di dunia ini tidak ada orang bodoh. Tapi realitasnya? Tetap harus ada padanan istilah yang mewakili orang seperti itu, ya istilah yang tepat adalah, kata Aki ‘Kamu tidak bodoh, tapi tidak tahu, sebab tidak pernah. Kamu tidak bodoh, tapi tidak tahu, sebab tidak pernah’.

Benar adanya, semua itu berawal dari pertemuannya dengan seorang gadis kaya, bernama Yani. Seorang Barok yang selalu bergelut dalam dunia kelam, seketika itu juga berubah menjadi sosok yang lupa diri, berubah menjadi sosok yang jujur terhadap dirinya sendiri, jujur bahwa dirinya mesti berubah. Walau kesadarannya itu ia tempuh dengan cara yang tak elok, tapi dibelakang itu semua yang dilakukannya sekarang berdasar pada sebuah ketulusan. Karena itu dia tidak lagi lari dari orang-orang yang memburunya, walau pukulan, dan jotosan terus menghunjaminya, ia terima. Dan tak usah heran, satu-satu hal yang membuat darah kehormatan Barok meledak-ledak, adalah ketika Camat Kosim dan orang-orang dibelakangnya terus berulang-ulang menyebutnya ‘bodoh’. Di akhir kisahnya, sebelum di dor timah panas aparat, Barok berteriak ‘Bahwa dirinya adalah Barok dan Karnadi. Manusia yang mencoba melawan. Pendapat kalian yang mengatakan dalam pikiranmu. Bahwa mustahil antara tidak punya dan punya bisa mesra. Aku manusia pencoba!’. 
Bagian ini membuktikan bahwa harga diri merupakan, kemewahan terakhir yang dimiliki manusia. 

BAPAK DAN PERMASALAHAN SOSIAL
Seseorang yang menggeluti bidang sastra memang tidak bisa dipisahkan dari permasalahan-permasalahan sosial, sepertihalnya Bapak (sapaan akrab Aan Sugianto Mas). Melalui tangan, dan pemikiran beliaulah berbagai naskah dan pementasan drama yang syarat akan pesan moral-sosial berhasil diwujudkan.
Sebut saja drama ‘Dedes: Terperdaya atau Memperdaya Menjadi Sah-Sah Saja’ kisah kutukan dendam para pendiri kerajaan Singasari, melalui sudut pandang seorang wanita yang memberontak terhadap pendapat umum, memberontak pada anggapan bahwa derajat wanita selalu berada dibawah pria. Kemudian, Kisah ‘Bimbang Dewi Rara’ sebuah potret sosial ala Siti Nurbaya yang menghadapi pilihan ikuti kata hati, atau ikuti kata orang lain. Dan yang terbaru adalah lakon drama ini, ‘Barok: Tidak Bodoh, Tapi Tidak Tahu, Sebab Tidak Pernah’. 
Lewat Bapak dan kelompok Teater Sado yang diasuhnyalah, semua gagasan idealis yang ada pada lembaran-lembaran kertas HVS dapat tersampaikan diatas panggung pementasan. Sebagai seorang pendidik, baik formal (sebagai dosen sastra di UNIKU), maupun non-formal (sebagai pembina Teater Sado) Bapak memang selalu berusaha memahami dan berusaha mengakomodir setiap potensi yang ada dilingkungannya. Selain dunia Teater, sejumlah bentuk usaha yang juga tidak lepas dari masalah edukasi tercipta lewat tangannaya. Sebut saja kegiatan berkesenian seperti, lukis, pahat, musik, handycraft, dekorasi, desain interior, taman, patung, jurnalistik, dongeng, fotografi-videografi, konveksi, dll. Dalam bidang kesenian Bapak memang begitu antusias dan serius. Sebuah projek hidup yang tidak sembarangan orang sanggup menjalankannya. Menjadi seorang pekerja seni, menjadi corong penyerap realitas hidup dan corong penyampai idealitas hidup.

Pada tanggal 4 September 2018, Bapak menghembuskan nafas terakhirnya, sehari sebelum pagelaran Karnaval Hari Jadi Kabupaten Kuningan, dimana karya terakhir beliau Teater Jalanan: Manusia Tanah Air dipentaskan.

Penulis: Ibnu Kar'an