Cerpen | Telepon Seluler

Ilustrasi telepon seluler. Kredit: Pixabay.

www.lpmsinergis.com - Sekarang sudah jam 10 malam. Artinya dia sudah terlambat satu jam untuk meneleponku hari ini. Iya, tadi sore tepat di depan gerbang sekolah, dengan wajah tersenyum namun nampak buru-buru, dia berujar akan meneleponku jam 9 malam ini. Ah... Aku terlalu mengharapkan dia. Barangkali dia lupa atau bahkan tidak berniat menelponku. Tapi kenapa dia tersenyum manis sore tadi. Seakan-akan dia memberiku sebuah kepastian. Tuhan, kenapa aku selalu tak berdaya ketika berhadapan dengannya. Kenapa tadi aku tak bertanya, kenapa harus jam sembilan malam? Ada apa? Kenapa tidak sekarang saja? Ah... Aku terlalu kikuk. Aku tak bisa bilang ‘tidak’ kalau dia sudah berjanji. Tapi sekarang sudah jam 10 malam, dia sudah terlambat satu jam untuk meneleponku hari ini.

Aku kenal dia. Sangat kenal. Dia bukan tipe orang yang tidak suka menepati janjinya. Dia laki-laki paling pantang membuat orang menunggu. Apa harus aku saja yang pertama meneleponnya? Tidak. Pikiran konyol macam apa itu? Sebagai perempuan aku tak harus jadi yang pertama menelepon seorang laki-laki. Dan lagi, posisiku ada di yang diberi janji. Aku tidak ingin dia berpikir bahwa aku masih  mengharapkannya. Tidak. Tidak akan. Tapi aku tahu dia laki-laki baik. Kenapa pengharapan ini tiba-tiba saja berubah jadi kekhawatiran. Ada apa dengannya? Apakah sesuatu terjadi padanya? Satu pekan ini aku memang selalu melihat berita lakalantas di kanal berita langgananku, apa jangan-jangan dia? Aaah... aku jangan berpikiran aneh seperti itu.

Apa aku harus berhenti memikirkan ini? Biasanya sih sering berhasil. Aku alihkan perhatianku dulu pada hal-hal lain, membaca buku atau menonton youtube, dan dengan sendirinya aku akan terkejut ketika ada panggilan darinya dilayar ponselku. Setidaknya waktu tidak akan begitu terasa karenanya.

Memikirkan cara agar bisa mengesampingkan panggilan darinya malah membuatku semakin memikirkannya.

Kira-kira apa ya yang akan dia bicarakan padaku? Kita berdua sudah satu minggu ini tidak saling bicara. Aku ingin sekali memulai bicara, tapi aku selalu merasa bahwa obrolan yang dimulai olehnya selalu menarik hati. Oh Tuhan ada apa denganku ini? Aku mohon gerakanlah dia, laki-laki yang sedang aku tunggu untuk menghidupkan ponselnya kemudian mengarahkan jarinya kepada kontak-ku dan segera panggil-lah aku. Aku hanya meminta hal sederhana saja Tuhan, aku tidak minta jadi putri kerajaan, aku tidak minta permadani terbang, tidak, aku hanya ingin perkara kecil. Apa jangan-jangan Engkau sedang melakukan konspirasi dengannya, dan sengaja membuatku seperti ini? Aah... aku berjanji akan menjadi hambaMu yang lebih baik lagi, tapi mohon percepatlah doaku ini Tuhan. Mungkin aku harus menyimpan ponselku ini agak jauh dariku, dan aku akan memerhatikannya sambil mencoba menghitung mundur, seperti bom waktu, dari angka lima puluh rasanya cukup. Aku mulai. Lima puluh. Empat puluh sembilan. Empat puluh delapan. Empat puluh tujuh. Empat puluh enam. Empat puluh lima. Empat puluh empat. Empat puluh tiga. Empat puluh...

Tolonglah Tuhan jangan sampai dia mengingkari janjinya.

‘Aku akan menelponmu jam sembilan malam’ itu yang dia katakan padaku, setelah seminggu tidak bicara. Kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu. Harapan. Padahal aku juga tidak menginginkan dia bicara seperti itu. Jika alasannya hanya untuk mencairkan suasana dengan mengucapkan ‘hay’ atau ‘halo’ aku rasa sudah cukup, tapi kenapa dia lebih mengucapkan ‘Aku akan menelponmu jam sembilan malam’? Kenapa? Dia sengaja memberiku harapan?

Tidak. Tidak. Tidak. Aku harus berhenti berpikiran jelek seperti ini. Coba dengar, seorang pemuda berjanji akan menelpon seorang gadis, dan jarak antara si pemuda dan si gadis tidak diketahui. Si gadis sedang ada di rumah, di sebuah ruangan, dan sedang berbaring dikamarnya, tidak ada alasan yang cukup membuat si gadis tidak menerima sebuah panggilan di ponselnya. Sedangkan si pemuda, entah ada dimana di dalam ruangan kah, atau di luar ruangan kah? Tidak ada yang tahu, ada badaikah, atau ada taufan kah di tempat si pemuda? juga tidak ada yang tahu. Nampak banyak sekali alasan kenapa dia tidak bisa menelepon si gadis. Benar kan? Tapi, sebentar. Badai? Taufan? Aaah... kenapa ponsel jelek ini masih belum berdering? Tolonglah, tak bisakah kau berdering? Memang sulit ya? Dasar benda sial, lihat saja aku akan membantingmu ke lantai, biar kamu tahu rasa!

Empat puluh dua. Empat puluh satu. Empat puluh. Barangkali aku harus menyelesaikan hitunganku dulu. Tiga puluh sembilan. Tiga puluh delapan. Tiga puluh tujuh. Aku tidak akan curang Tuhan, aku berjanji akan menyelesaikan hitunganku, walaupun nanti tepat dihitungan dua puluh dia memanggilku. Aku akan tetap menyelesaikan hitungan ini, dan aku berjanji akan sebentar mengabaikannya demi hitunganku ini. Tiga puluh enam. Tiga puluh lima. Tiga puluh empat... Tolong gerakan hatinya Tuhan.

Seorang pemuda yang selama satu minggu tidak bicara dengan seorang gadis, dan tiba-tiba ingin bicara lewat ponsel, mungkin sedang merencanakan sesuatu. Mungkin saja dia berpura-pura akan menelponku. Namun yang sebenarnya malah dia akan memberikan kejutan dengan langsung datang kerumahku. Ah aku harus menghapus kesenduan diwajahku ini. Laki-laki tidak suka mendapati seorang wanita dalam kondisi sedih. Cengeng. Walau menurutku sebenarnya mereka sangat senang menghadapi wanita yang cengeng, suka merajuk, dan manja dalam kelemahannya, namun aku harus tetap menjaga sikap.

Huh laki-laki, makhluk yang terbuat dari besi, bisakah mereka merasakan kesedihan? Kuharap aku bisa membuatnya menangis. Aku harap bisa membuatnya menangis sampai dia mencakar tembok dan lantai, merasakan jantungnya membengkak berat dan membusuk didalam dirinya. Aku harap aku bisa melukainya. Aku harap aku bisa jadi alasan atas tangisannya itu.

Oh Tuhan kenapa aku ini? Begitu bersalahkah aku di dunia ini, hingga begitu pedihnya hidup yang harus aku rasakan. Apakah dia juga merasakan kepedihanku saat ini?

Aku pesimis.

Kenapa kau tidak juga berdering ponsel jelek?

Aku pernah membaca sebuah artikel tentang ponsel, bahwa ponsel dapat membuat penggunanya tidak bisa mengatur waktu, dan akhirnya menjadi candu. Pikiran kolot, pesimistis. Ponsel ibarat pedang bermata dua, bisa baik dan bisa buruk, bagaimana kita menggunakannya. Bisa disamakan dengan hati? Hati ibarat pedang bermata dua. Bagaimana kita menggunakannya, Uh.

Aku harus berhenti bicara sendiri seperti ini. Bisa gila aku. Ada satu orang yang benar-benar ingin aku ajak bicara. ‘...jam sembilan malam'. Aku masih mendengar ucapannya itu di kepalaku. ‘...jam sembilan malam'.

Apa aku harus menelponnya? Mungkin tadi aku salah dengar. Mungkin sebenarnya yang dia katakan adalah ‘Telpon aku jam sembilan malam' bisa saja kan? Karena buru-buru akhirnya aku malah mendengar ‘Aku akan menelponmu jam sembilan malam’.

Bisa saja.

Ponsel sial ini seakan menyerap kemampuan bicaraku saja. Lidahku kelu jika spontanitas ada yang mengajak bicara. ‘lebih baik nanti lewat ponsel-lebih baik lewat chat' pikirku. Dan kini aku malah asyik berbicara dengan diriku sendiri. Ah...

Akhirnya. Berdering juga kau!

Satu kali getaran.

Aku balik ponsel yang dari tadi aku telungkupkan itu, dengan sangat hati-hati.

Aku lihat layarku berubah agak redup kali ini.

Terpampang sebuah notifikasi ‘low battery’

Aku balik benda sial itu lagi, aku benamkan dan aku bekap dibawah bantal yang sedang aku peluk, keras-keras. Tak akan ku lihat lagi benda terkutuk ini. Aku lihat jam dinding diatasku sudah lewat jam dua belas malam.

Tiga puluh tiga. Tiga puluh dua. Tiga puluh satu...

Tuhan, lihat aku masih menghitung.

Tiga puluh. Dua puluh sembilan. Dua puluh delapan. Dua puluh tujuh. Dua puluh enam. Dua puluh lima. Dua puluh empat. Dua puluh tiga. Dua puluh dua. Dua puluh satu. Dua puluh...


Penulis:  Ibnu Kar'an
Editor: Arfan Muhammad Nugaraha

Posting Komentar

0 Komentar