Perkembangan Kebudayaan Literasi Tidak Hanya Berhenti pada Titik Seminar dan Workshop di Perguruan Tinggi

Kredit gambar uniku.ac.id



www.lpmsinergis.com - Literasi dalam proses kehidupan, merupakan sarana penunjang utama umat manusia. Agar dapat dikatakan sebagai lapisan masyarakat berbudaya, maka manusia diharuskan untuk memiliki kemampuan dan pengetahuan membaca, menulis dalam mengelola informasi disekitarnya.

Banyak cara yang dapat dilakukan dalam prosesi mengembangkan literasi ini. Dengan pengaplikasian membaca, diskusi antar intern dan eksternal individu atau organisasi atau penyelenggaraan kegiatan gelar wicara.

Di Perguruan Tinggi sendiri penyelenggaraan kegiatan Seminar dan Workshop hanyalah sebatas program kerja semata, dari civitas akademik (Kelompok yang terdiri Dosen, Mahasiswa dengan perwrakilannya dalam bentuk senat). Ibarat ia hanya menggugurkan (menyelesaikan) sebuah program kerja diatas sebuah mimbar umum, disaksikan langsung oleh para partisipan. Tanpa menindak lanjuti setelahnya apa yang dihasilkan dalam forum terbuka tersebut.

Seperti kita ketahui, menyelenggarakan kegiatan bertajuk Seminar dan Workshop memang tidak semudah yang dipikirkan. Dimulai dari mempersiapkan segala sesuatu remeh-cemeh, sampai kepada hal yang bersifat esensial. Semuanya perlu dipersiapkan dengan ide dan konsep yang matang.

Fokus perhatian dalam tulisan ini, tidak ditujukan pada krusialnya mengadakan sebuah acara. Akan tetapi bagaimana pasca kegiatan dapat menghasilkan sebuah output yang jelas, untuk ditindak lanjuti.
Hal itu terjadi di Almamater tercinta penulis, Kampus Universitas Kuningan. Dan hal serupa bisa terjadi pula dengan perguruan Tinggi lainnya. Dimana antar Organisasi Kemahasiswaan, saling berpacu untuk menyelenggarakan sebuah acara ini.

Dan dapat kita ketahui hasilnya. Kegiatan seminar dan workshop hanyalah sebatas ajang seremonial belaka. Dapat di identifikasikan kelemahan menyelenggarakan acara tersebut, yakni partisipan hanya dipaksakan duduk mendengarkan cermah dari seorang narasumber dihadapannya.

Fakta mengejutkan yang penulis dapat dilapangan, bahwa peserta dari acara Seminar dan Workshop lebih tendensi kepada Sertifikat, dibandingkan dengan ilmu (pengajaran) yang didapat. Daya tarik dari sebuah lembaran kertas lebih mendominasi dibandingkan dengan penyerapan materi dari kegiatan.
Dengan sebuah alasan klasik diberitakan bahwa sertifikat tersebut untuk pengumpulan poin yang nantinya digunakan pada saat menuju prosesi wisuda. Dan lebih parah lagi, ada mahasiswa yang hanya ingin membeli sertifikat tanpa menginginkan ilmu dan dengan alasan lainnya.

Adapun apa yang disampaikan pembicara tidak bertahan lama dan akan sirna beberapa langkah setelah selesainya kegiatan tersebut.

Maka kembali pada judul tulisan ini, Kebudayaan Literasi tidak hanya berhenti pada titik Seminar dan Workshop di Perguruan Tinggi. Kultur literasi harus terus berjalan dengan ada dan tanpa gelar wicara. Jadikan forum seminar dan Workshop sebagai ajang menambah wawasan intelektual. Serta membiasakan diri untuk membuka cakrawala pemikiran dengan membaca dan berdiskusi tidak hanya diacara seminar dan workshop.

Kita perlu menggaris bawahi kata-kata Rocky Gerung tentang perkuliahan :

Ijazah itu tanda orang pernah sekolah, Bukan tanda orang pernah berpikir.
Dari kutipan tersebut, sangat bertolak belakang dengan realitas saat ini. Dimana selembar kertas lebih diganderungi daripada pola berpikir (bernalar). Tujuan utama kita adalah mendapatkan pengalaman dan intelektualitas. Adapun selembar kertas adalah bukti bahwa kita pernah mengikuti kegiatan.


Muhammad Jahidin adalah jurnalis di sebuah media kampus (LPM Sinergis Uniku)

Posting Komentar

0 Komentar