Pengenalan
lingkungan kampus kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Kemendikti
mengganti
nama untuk kegiatan pengenalan kampus ini, dari semula bernama Orientasi Studi
dan Pengenalan Kampus (Ospek) menjadi Pengenalan Kehidupan Kampus bagi
Mahasiswa Baru (PKKMB). Seperti mitos yang berkembang, anak yang sering sakit
diganti namanya agar kelak anak itu tidak sakit lagi. Begitu juga Ospek yang
sudah terjangkiti penyakit bullying, diganti namanya oleh pemerintah
agar kelak penyakit bullying itu dapat sembuh.
Perubahan
nama itu memang untuk menyembuhkan penyakit saja. Kalau kita perhatikan,
istilah Ospek dengan PKKMB tidak ada perbedaan makna sama sekali, kedua istilah
itu sama-sama bermakna pengenalan lingkungan kampus. Kalau dalam Ospek
kata-katanya adalah “Pengenalan Kampus”, sedangkan dalam PKKMB ditambah lagi
kata “Kehidupan”, menjadi “Pengenalan Kehidupan Kampus”. Tetap saja maknanya
seperti itu, berputar-putar di situ saja.
Sebuah
nama itu mencerminkan isi yang dikandungnya. Para pejuang kemerdekaan lebih
memilih memakai nama Indonesia untuk negara ini alih-alih Hindia-Belanda, karena dalam
kata Hindia-Belanda terkandung makna bahwa negara ini adalah negara jajahan
Belanda. Maka, untuk nama negara yang merdeka, yang terbebas dari penindasan
bangsa lain, adalah Indonesia.
Karena
istilah Ospek dengan PKKMB sama maknanya, begitu pun juga isi yang dikandungnya
sama saja, kegiatan yang dilakukan sama saja. Untuk masalah bullying,
sebelum pergantian nama menjadi PKKMB pun, mayoritas (kalau tidak dikatakan
semuanya) kampus sudah menghilangkannya.
Perbedaan
Ospek dengan PKKMB bukan terletak pada ada tidaknya bullying seperti
yang banyak orang-orang pikirkan. Perbedaannya terletak pada adanya pihak yang
turut serta untuk menjaga agar kegiatan pengenalan kehidupan kampus berjalan
sesuai dengan koridor yang ditetapkan pemerintah. Ya, dalam PKKMB, tidak
seperti Ospek, pihak dosen dan staf kampus turut serta dalam penyelenggaraan
kegiatan pengenalan kampus. Sebelumnya, kegiatan pengenalan kampus sepenuhnya
diselenggarakan oleh mahasiswa, dalam hal ini Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Dengan
itu, semakin bertambahlah ruang-ruang yang bersifat hirarki di kampus.
Sebelumnya ruang hirarkis hanyalah ruangan kelas, sekarang merembet ke kegiatan
pengenalan kampus. Bagaimana pun juga, dosen merasa berhak mengatur mahasiswa
dan mahasiswa agak segan menyampaikan
pendapatnya. Hal ini, diakui atau tidak, menimbulkan suasana yang tidak
egaliter. Seperti pada salah satu rapat penyelenggaraan PKKMB di Fakultas Ilmu
Komputer, terlihat dalam rapat itu pihak dosen mendominasi dan mahasiswa
menjadi tidak leluasa dalam menentukan kegiatan acara.
Diikutsertakannya
dosen dan staf dalam penyelenggaraan pengenalan kampus adalah bentuk
ketidakpercayaan
terhadap mahasiswa untuk menyelenggarakan kegiatan pengenalan kampus tanpa bullying.
Padahal sudah terbukti bahwa mahasiswa dapat melakukannya. Tahun lalu, dimana
kegiatan pengenalan kampus sepenuhnya diselenggarakan oleh mahasiswa, kegiatan
berjalan lancar tanpa bullying. Keikutsertaan dosen dan staf hanya
menambah ruwetnya birokrasi kampus. Ini terbukti misalnya, dalam hal memberikan
hukuman pada mahasiswa baru yang telat saja harus bertanya dulu kepada dosen.
Kalau
kita bertanya kepada mahasiswa yang mengikuti kegiatan pengenalan kampus tahun
lalu dan kepada mahasiswa yang mengikuti pada tahun sekarang mengenai kegiatan
apa saja yang dilakukan saat pengenalan kampus. Maka jawabannya akan sama,
kegiatan Ospek dan PKKMB sama saja, kegiatan yang dilakukan sama. Perbedaannya
tidak dirasakan oleh mahasiswa baru, karena perbedaannya ada di belakang layar,
yaitu: semakin ruwetnya persiapan penyelenggaraan.
0 Komentar