Sumber foto Tribun Medan |
Kembalinya peristiwa penobatan Jokowi
dan Prabowo sebagai calon presiden mengajak kita bernostalgia mengenang kisah 5
tahun lalu, pada pemilihan presiden tahun 2014. Pemilu tahun 2014 yang hanya
menelurkan 2 pasang calon membuka kita kedalam pertukaran informasi yang hanya
berputar diantara mereka berdua saja. Dan percaya atau tidak (harusnya sih
percaya karena sudah kita lewati bersama) kekuatan politik yang menggerakan
kedua pasang calon itupun terbagi kedalam dua poros kekuatan, dan apa yang
terjadi jika dunia diperebutkan hanya oleh dua kekuatan, blok timur dan blok
barat, heum... Namun untungnya dalam
kasus ini tetap ada golongan putih yang setia menjadi penonton, menyaksikan
pertandingan dari luar lapangan, heum...
Tahun 2014 sudah berlalu, lima tahun
sudah kita bersama presiden terpilih, H. Ir. Joko Widodo, dan kini tahun 2019,
pemilihan akan berlangsung kembali tepat di bulan April nanti, namun semuanya
nampak tak begitu berbeda. Karena apa yang terjadi 5 tahun lalu kembali
terulang maka pemilihan presiden sekarang seakan-akan mengkristalkan apa yang
sudah dimulai lima tahun lalu.
Penulis paham ada beberapa sahabat
diluar sana yang berpendapat “Kenapa KPU
tidak menetapkan 3 paslon atau lebih agar atmosfir panas pemilu tidak terjadi lagi?”
KPU jelas tidak ingin membatasi hak yang bisa didapat oleh tiap warga negara,
coba kita bayangkan jika KPU menetapkan ‘pemilu sekarang harus ada 3 paslon’
dan jika kenyataannya yang mengajukan diri dan sesuai dengan kriteria itu ternyata
lebih dari 3 paslon, akhirnya KPU akan kena semprot lagi karena telah membatasi
Hak warga negara, jadi yang paling aman, yaaa
begini ini. Dan kenapa hanya Jokowi dan Prabowo yang kembali maju dalam
pertempuran, alasannya sederhana karena yang lain tidak begitu berani maju, ada
banyak alasan yang melatarbelakanginya, namun yang paling kentara itu satu,
karena masalah popularitas.
Setelah parpol-parpol menyatakan
kesediaannya mendukung Jokowi dan Prabowo, parpol-parpol itu akhirnya membentuk
koalisi yang bersumpah akan mendukung masing-masing bakal calon presiden yang
diusungnya. Tak lama kemudian nuansa-nuansa tahun 2014 pun kembali terasa. Di
dunia maya khususnya mulai tersebar kabar informasi yang tak tahu hulunya dari
mana, mulai mengungkit-ungkit masalah dan kekurangan yang ada pada kedua bakal
calon, walaupun tidak sehangat pada pilpres 2014. Isu-isu seperti masalah kesenjangan
sosial, ideologi, HAM, agama, tetap
menjadi primadona yang selalu mengisi linimasa media sosial.
Diluar isu itu benar atau tidak,
nyatanya mampu mempengaruhi pandangan khalayak ramai, dan nampaknya ikut
mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil para tim koalisi calon presiden.
Coba kita pusatkan perhatian kita pada saat penentuan cawapres dari tiap tim koalisi.
Pertama tim Jokowi, beredar kabar di akhir Juli 2018 lalu tim pemenangan Jokowi
sudah mengerucutkan nama bakal calon pendamping presiden, dan siap mendeklarasikannya
pada awal Agustus, dan tepat pada tanggal 9 Agustus di sebuah restoran di
kawasan Menteng Jakarta, Jokowi bersama tim koalisinya akhirnya menyebutkan
nama yang akan menemaninya dalam pilpres 2019, dan ternyata sosok yang
disebutkannya itu cukup mengejutkan banyak pihak, seorang ulama kelahiran tahun
1943, pernah menjadi Ra’is Aam PBNU, serta Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Profesor Doktor KH Ma’ruf Amin keluar sebagai cawapres Joko Widodo.
Dan dini harinya, masih di tanggal 9
Agustus sekitar pukul 23.30 WIB, Prabowo dan tim koalisinya mendeklarasikan
seorang ekonom yang baru saja dinobatkan sebagai pendamping orang nomor satu di
DKI Jakarta, sebagai orang yang akan mendampinginya sebagai cawapres masa bakti
2019-2024,
tidak lain dan tidak bukan sosok itu adalah, H. Sandiaga Salahuddin Uno. Lagi-lagi
keputusan yang diambil kubu Prabowo ini cukup mengejutkan banyak pihak.
Mari kita kupas bersama anomali
politik yang terjadi ini. Kedua tim koalisi capres menurut hemat penulis
nampaknya ‘kebingungan’ saat menentukan calon wakil presiden (wajarlah, kita
juga sering bingung jika akan menentukan sesuatu) sedangkan
disisi lain KPU pun
terus mendesak agar tiap koalisi
segera mendaftarkan para cawapresnya.
Pada awalnya Jokowi nampak tidak pernah membawa-bawa atribut dan simbol-simbol
keagamaan dalam
manufer politiknya (ada,
tapi tidak menonjol), yang
akhirnya menciptakan opini di masyarakat bahwa ‘wakil yang dipilihnya pasti begini dan bukan begitu’. Sama halnya
yang terjadi di kubu Prabowo Subianto, koalisi Prabowo dekat dan nampaknya
banyak dikelilingi tokoh-tokoh keagamaan dan akhirnya menciptakan opini di
masyarakat bahwa ‘wakil yang dipilihnya
pasti begini dan bukan begitu’ hal itu diperkuat setelah tersiar kabar
bahwa ia dan tim koalisinya telah memilih dan
akan menggaet seorang Ustaz yang kebetulan sedang booming sebagai
cawapresnya. Namun setelah tanggal keramat itu tiba, semuanya ternyata
berkebalikan.
Dan menanggapi anomali ini kedua kubu
sepakat, mereka ‘mencoba berusaha
menyerap aspirasi dari semua kalangan, dan semua anomali yang terjadi itu hal
biasa dalam praktik politik’ heum...
Singkat cerita, kedua pasang
capres sudah menambatkan hati dan harapnya pada para cawapresnya masing-masing dan akhirnya
mulailah kegiatan manuver-manuver politik, mensosialisasikan
gagasan-gagasan yang dimilikinya
kepada rakyat Indonesia. Dan apa yang kita dapatkan dari mereka? Informasi apa
yang kita dapat? Heummm... Setidaknya
kita mengetahui bahwa paslon yang akan maju di pilpres nanti itu ada dua pasang, nomor urut 01. H. Ir. Joko Widodo dengan Prof. Dr. KH Ma'ruf Amin, dan nomor
urut 02. H. Prabowo Subianto dengan H. Sandiaga Salahuddin Uno, yaaa
minimal kita mengetahui hal itu. Namun selebihnya? program-program seperti apa
yang mereka usung? gagasan-gagasan
apa yang
menjadi modal mereka?
seperti apa rencana-rencana dan solusi mereka dalam mengatasi
problematika bangsa Indonesia? Heum...
Saya
yakin beberapa sahabat di luar sana mengetahui
program-program tersebut. Tapi saya juga yakin tak sedikit dan mayoritas dari
kita yang cenderung hanya mengetahui jargon-jargon yang mereka sampaikan saja,
seperti bahasa-bahasa kiasan cebong dan kampret, politikus sontoloyo, tempe
setipis kartu ATM, politik genderuwo, Indonesia bisa bubar pada tahun 2030, buta-budek,
tampang Boyolali... Betoel? Selebihnya whuuuzz....
Kenapa
hal ini bisa terjadi, kenapa jargon-jargon tersebut lebih dikenal dari
program-program atau apa-apa yang mereka tawarkan kepada masyarakat? Siapa yang
menjadi kunci terhadap ini semua, mungkin sahabat-sahabat
ada yang mempunyai pendapat 'yaa tidak lain dan tidak bukan ini gara-gara
media, karena media lebih sering menyoroti hal itu jadi beginilah hasilnya' betoel itu, saya sependapat, tapi kan
prinsip media itu mengabarkan apa yang seharusnya dikabarkan, apa pun itu, apa
adanya, dan justru jika
dibuat-buat maka itu akan menyimpang dari keharusannya. Dan saya
yakin sebenarnya media-media dan mayoritas dari kita juga sebenarnya
sedang menunggu-nunggu inovasi apa yang sebenarnya ditawarkan dari tiap pasang calon,
gagasan-gagasan nyata yang memang benar-benar bisa di terapkan untuk Indonesia.
Tugas
para paslon adalah menawarkan dan meyakinkan kita bahwa dialah yang paling
ideal menjadi pemimpin Indonesia, dan dengan kejadian perang jargon itu, tak
langsung malah makin melemahkan kepercayaan publik pada proses pelaksanaan demokrasi di
Indonesia.
Mantan Komisioner KPU, Sigit
Pamungkas bahkan menilai
penyelenggaraan pemilu saat ini sedang benar-benar
di uji.
"Dan jika kita
merujuk survey LSI dan ICW, Desember 2018, kepercayaan publik berada
di bawah 70 persen,
Bawaslu 69 (persen), sedangkan survei
KPU sendiri
68 (persen), turun 10 persen. Ini tentu jadi peringatan bagi kita semua untuk
introspeksi apa yang sedang terjadi," jelas Sigit
Pamungkas pada media pemberitaan suara.com.
Bahkan
pada akhir tahun 2018 kemarin sempat viral pemberitaan mengenai paslon fiktif
yang diusung dan
diciptakan oleh sebuah
kelompok kreatif di Kudus,
Jawa Tengah, pasangan Nurhadi-Aldo dengan nomor urut 10. Ini merupakan
bentuk lain dari
kekecewaan yang berusaha
disuarakan masyarakat terhadap proses politik yang rasanya amat menjemukan dan tidak
substansial.
Tapi mau bagaimana lagi semuanya
sudah terjadi, pemilu sudah didepan mata, semua putusan dalam penyelenggaraan
sudah disepakati bersama oleh kita umumnya, dan oleh KPU sendiri.
Sudah banyak sosialisasi dan gambaran
secara umum yang menjelaskan gagasan dan cita-cita tiap paslon untuk Indonesia
kedepannya, bahkan berbagai acara diskusi pun sudah cukup sering menemukan
kedua timses dari tiap pasang calon yang umumnya ditayangkan di televisi dan
disiarkan dalam lingkup nasional. Namun satu-satunya momen yang menurut penulis
pribadi sangat ideal untuk menilai mana yang pantas dan berhak menduduki tampuk
pemerintahan tertinggi, yaitu pada acara debat publik yang rencananya akan
dimulai dan diselenggarakan besok (17/01/2019).
KPU mengabarkan debat capres-cawapres
akan digelar sebanyak 5 kali, dan untuk debat pertama akan mengusung tema
“Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme”. Poin-poin bahasan yang cukup berat, dan merupakan
problem yang sudah mengakar sangat dalam di diri bangsa Indonesia. Seperti
apakah pandangan mereka terhadap tema tersebut? Terlebih pada poin HAM, yang
nampaknya cukup menciptakan buah simalakama bagi keduanya. Heuum... menarik. Tapi kembali ke poin sebelumnya, di momen inilah
kita bisa benar-benar mengenali seperti apa calon presiden kita sesungguhnya.
Sampai sudah pada gagasan utama yang
hendak penulis sampaikan pada tulisan kali ini. Menuju pemilu 8 April 2019,
sebentar lagi kita akan menghadapi pesta demokrasi yang bagi sebagian orang merupakan
satu momen penting bagi perubahan bangsa dan bagi sebagian orang lagi ‘ah penting gak penting’. Namun kita
harus cermati bersama bagaimanapun sikap kita terhadap penyelenggaraan
demokrasi tersebut, baik itu aktif maupun pasif pada akhirnya momen itu akan
tetap memberikan dampak pada kita.
Bagi kita yang antusias dalam proses
demokrasi ini dan akan turut mendukung calon yang dirasanya pantas maka harus
bersiap-siap pada segala kemungkinan yang ada. Jika calon yang kita dukung
menang maka kita harus bersiap menjadi partner kerja sang presiden, jika
presiden butuh bantuan kita maka kita bantu dia, jangan berpikir ‘kita sudah memilihnya maka selesai sudah
tugas kita, presiden kita sudah terpilih biarkan dia bekerja sebagai presiden’.
Selain itu jika presiden yang kita pilih ternyata melakukan kesalahan (wajarlah,
manusia tidak ada yang sempurna) maka jangan pura-pura tidak tahu, tutup mata,
tutup telinga, tapi ingatkanlah dia, dan jika ada dari pihak luar mencoba
mengingatkan presiden kita yaaa kita
jangan sensi.
Nah itu jika presiden yang kita dukung
menang, jika ternyata kalah. Pertama dan yang paling utama adalah jangan sen-si-an, bersikaplah seperti ksatria, ketika
mendapati presiden yang tidak kita dukung melakukan kesalahan maka kita
ingatkan, tapi yaaa sewajarnya, sedangkan jika ia sedang butuh bantuan, bantulah
ia, jangan berpikir ‘ah diakan bukan
presiden yang aku pilih, biarkan dia kerja dengan orang-orang yang mendukungnya’
heum... Dan ketika presiden yang
tidak kita pilih itu ternyata berhasil merealisasikan visi dan misinya yaaa jangan
tutup mata tutup telinga, akuilah, jangan sibuk cari celanya saja, lagi pula
dia adalah wajah Indonesia, wajah kita.
Dan bagi kita yang tidak menjatuhkan
pilihannya sama sekali, maka dampaknya sama saja, pada akhirnya presiden akan
terpilih dan ia akan menjadi wajah kita dan akhirnya menjadi tanggung jawab
kita semua untuk mendampingi, membantu, dan mengawal presiden terpilih selama 5
tahun kedepan. Dengan begitu kita bisa membuktikan bahwa bangsa Indonesia masih
punya rasa peduli terhadap kehidupan bangsanya, dan juga membuktikan bahwa
proses pemilu yang sudah kita lewati bersama menghasilkan produk demokrasi yang
indah karena sikap dewasa yang dipraktikan para pelakunya dan bersamaan dengan
itu membuktikan juga bahwa kita menolak sikap apatis dan sikap terlalu sensitif
dalam memandang keadaan.
Dan ketika palu tanda ‘final’ sudah
diketukan, maka lepaslah semua embel-embel yang kita pakai sebelumnya, lepaskanlah
kenangan tahun 2014, lepaskan kenangan tahun 2019, meleburlah kembali dalam harmonisme
Indonesia.
N.B :
Seperti yang sudah tertera pada judul tulisan, ratusan karakter yang menyusun kata,
kata menyusun kalimat, dan kalimat menyusun paragraf ini hanyalah sebuah
celotehan anak muda ketika memandang proses demokrasi bangsanya.
Jadi, namanya juga wong cilik...
Salam
takzim...
Penulis : Ibnu Kar'an (LPM Sinergis Uniku)
0 Komentar