Lagi-lagi kuterperanjat menyaksikan wakil
Tuhan bernama Ibu...
Pagi ini, bukan di layar kaca, bukan di
lembar cerita, tapi 100 prosen asli apa adanya..
Di sudut Ring tinju di ujung dunia...
Dikelilingi 5 orang anaknya dalam buaian
ranjang yang kusam nan dingin ia berkata.
"Nak, harta Ibu tinggal itu saja
silakan kalian atur"
"Baik bu" si-5 berucap
"Tapi bagaimana dengan si Cikal?"
Si-6 bertanya
"Kalau dia pasti ingin dibagi
rata" ucap si-7
"Yang aku khawatirkan justru si kepala
batu itu, si-2" si-8 berucap
"Tenang, yang penting kita harus satu
suara dulu, si-2 tidak akan bisa melawan, kalian setuju kan jika kita
begini-begitu?" si-9
Semuanya diam, nampak sedang berpikir,
mangut-mangut.
"Kau keliru, lebih baik begitu-begini?"
Si-5 bersuara kembali
Semuanya diam, nampak sedang berpikir,
mangut-mangut.
"Bagaimana kalau begini saja?"
"Kok begini? begitu saja!"
Semuanya diam, nampak sedang berpikir,
mangut-mangut.
"Ibu harus tenang, perkara itu sedang
kami pikirkan. Ibu tinggal mendengarkan, jadi saksi saja, yah" si-10
berkata
Aku melihat matanya, berubah, sedikit
berkaca-kaca...
Mungkin hatinya berkata...
"Nak, janganlah meributkan perkara
dunia di depanku"
Atau mungkin ia berkata...
"Nak, tak adakah yang mengusulkan
'biar harta itu buat Ibu saja, jadikan perkara yang bisa menemani Ibu sampai
berjumpa dengan Ketua'? Tak adakah? Ta adakah yang memikirkan Ibu?"
Atau mungkin... Mata itu adalah kelegaanmu
sendiri setelah melepas Mawar yang nyatanya terus melukai.
Tapi, ketika semuanya tak kunjung reda,
malah menjadi diskusi yang luar biasa...
Aku melihat senyuman dan setetes berlian
jatuh dari pelupuk matamu...
Dalam suara bergetar kau berkata
"Aku sayang kalian"
"Kami juga sayang Ibu"
"..................."
"Sebentar dulu bu. Ayo kita teruskan
diskusi" ujar mereka kompak.