IDENTITAS BUKU
Judul buku : Ranah 3 Warna
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2013
Jumlah halaman : 472
Novel Ranah 3 Warna bercerita tentang
seorang anak lulusan pondok pesantren yang mempunyai impian menuntut ilmu di
Universitas ternama di Jawa Barat. Alif namanya, ia mempunyai keyakinan bahwa
segala keinginan di dunia ini bila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh apa pun
itu maka akan benar terwujud. Bukan hanya sebatas kata-kata manis saja, atau
sebatas kata-kata optimistis kosong belaka karena semua itu telah ia buktikan
sendiri selama menempuh pendidikan di pondok. Man Jadda Wajadda. Siapa yang
bersungguh-sungguh pasti akan berhasil.
Tapi bukankah semua yang ada di dunia
ini mempunyai ukuran, dan memilik batasan? Jika benar begitu, bagaimana dengan
Man Jadda Wajadda? Akankah Alif akan terus menerjang semua masalah layaknya
badak menghantam tembok-tembok yang menghalangi pandangannya? Benarkah Man
Jadda Wajadda akan selalu berakhir happy ending? Di novel inilah
pertanyaan dan semua dinamika hidup yang hampir dialami oleh semua orang itu
akan dijawab.
SINOPSIS
Ranah 3 Warna merupakan novel kedua
dari trilogi novel Negeri 5 Menara, yang masih membahas perjalanan hidup Sang
Tokoh Utama, Alif Fikri, dalam mewujudkan impiannya. Di kisahnya kali ini, Sang
Tokoh Utama digambarkan sedang memasuki masa pendewasaan diri, secara
psikologis-emosional.
Kisah berawal ketika Alif yang baru
saja lulus dari pondok Madani, Jawa Timur, mempunyai keinginan melanjutkan
studinya, kuliah ke bandung. Karena setiap lulusan pondok Madani tidak
mendapatkan berkas tanda tamat belajar, ijazah, maka dengan semangat yang membara
sebelum bertempur memperebutkan bangku perkuliahan, Alif pun melakukan ujian
persamaan demi mendapatkan syarat administratif melanjutkan studi itu.
Berbeda dengan cerita di Negeri 5
Menara, Alif kini tidak lagi berobsesi menjadi Habibie yang mempelajari, dan
mengambil studinya di bidang teknik. Di Ranah 3 Warna, ia mengganti haluannya,
kini ia lebih tertarik dan mengambil jurusan Hubungan Internasional di FISIP
Unpad Bandung.
Ditemani Randai, sahabat karib
sekaligus rival sejatinya, Alif mulai mengarungi ranah keduanya setelah pondok
Madani, yaitu Unpad Bandung. Sebagai mahasiswa baru, Alif diharuskan memilih
unit kegiatan mahasiswa sebagai wadah kegiatan kedua setelah perkuliahan, dan
akhirnya setelah mempertimbangkan segala hal mempertimbangkan kemampuannya
dalam berkomunikasi, akhirnya jatuhlah pilihan kepada unit kegiatan
jurnalistik.
Di unit kegiatan itu Alif aktif
membuat tulisan laporan-laporan jurnalistik yang turut dimuat majalah kampus
dan bahkan sampai ikut di terbitkan surat kabar lokal. Berkat bimbingan dari
seorang senior yang selalu bersikap disiplin, Alif pun perlahan-lahan mampu
membiayai kehidupannya secara mandiri di Bandung. Sekali lagi Man Jadda
Wajadda, membuktikan bahwa kerja keras itu memang penting.
Alif dengan segala keinginannya yang
sudah berwujud pun senantiasa hidup berbahagia di Bandung, namun semuanya
perlahan berubah ketika Sang Ayah di kampung halaman, meninggal dunia. Tumpuan
dan harapan keluarga yang selalu melekat pada Sang Ayah segera itu juga
berpindah ke pundak Sang Anak yang paling tua, Alif. Dalam masa itu ia
dihadapakan pada pilihan yang sangat dilematis, melanjutkan kuliah demi
menggapai cita-cita atau kembali ke Maninjau demi keluarga? Dengan gagah berani
ia membisikan kata-kata lembut nan tegar kedalam dadanya, jika bisa keduanya
kenapa harus memilih?
Pekerjaan sambilan sehabis kuliah pun
ia kerjakan, mulai dari menjadi guru les privat, sampai menjadi penjual kain
tradisional dor to dor ia lakoni, demi keluarga di kampung halaman, dan demi
terus melanjutkan hidupnya di Bandung.
Segala upaya telah dilakukannya,
namun tetap tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Semua usaha yang
dilakukannya kini hanya berujung pada kekecewaan. Semakin ia berusaha semakin
ia jatuh ke dalam jurang yang penuh dengan kesakitan. Puncak permasalahan yang
dialami tokoh utama yaitu ketika ia sedang menjual kain batik khas Maninjau di
jalan Bandung dan pada saat itu ia dirampok oleh seorang preman disana. Barang
dagangan digasak dan kesehatan tubuhnya pun ikut melemah, Alif yang sudah tidak
punya apa-apa itupun kemudian jatuh dalam perawatan rumah sakit.
Di fase ini Alif berada pada tahap
yang paling gelap dalam hidupnya. Ia pun mulai meragukan dan mempertanyakan
prinsip Man Jadda Wajadda yang selalu dipegangnya.
Pertanyaannya itu bagai dijawab
semesta, Alif teringat bahwa dulu ketika belajar di pondok Madani ia pernah
dibekali mantra kehidupan selain Man Jadda Wajadda, mantra kehidupan yang
sedikit berbeda dengan Man Jadda Wajadda, mantra kehidupan yang berbunyi, Man
Shabara Zhafira, siapa yang sabar pasti beruntung. Mantra pendamping Man Jadda
Wajada.
Jika hanya kerja sungguh-sungguh,
kerja keras tanpa mengetahui batasan, tidak tahu kapan harus menginjak pedal
rem dan kapan harus tancap gas, maka semua itu hanya akan bermuara pada dua
hal, jika ia berhasil maka keberhasilannya itu menuntut pada pemenuhan ambisi
berikutnya, dan jika ia gagal, maka ia akan tabrakan dan terjun pada jurang
keterpurukan.
Maka hadirlah Man Shabara Zhafira
sebagai mantra pendamping Man Jadda Wajadda, dengannya setiap usaha membabi
buta dan kobaran api nan dahsyat akan lebih bisa terkontrol dan lebih terjaga
kobarannya.
Karena Man Shabara Zhafira, Alif
kembali terkenang pada dirinya dulu, pada saat belajar di pondok Madani. Para
sahabatnya Sahibul Manara, mimpi yang pernah disemainya bersama para sahabat,
pergi ke benua Amerika, semua kenangan itu perlahan mulai membantunya bangkit
kembali.
Perlahan rasa optimisnya itu mulai
hidup dan membara kembali, tetapi kini kobarannya berbeda karena ia sekarang
sudah melengkapi diri dengan sebuah pelindung yang mampu menjaga kobaran api
semangatnya, sebuah baju zirah, bernama sabar.
Alif kembali bangkit, dan mencoba
membenahi kembali hidupnya. Semuanya berjalan dengan semestinya dan ia
mendapatkan kembali kebahagiaan yang telah lama hilang dalam dirinya, bahkan ia
berhasil mewujudkan mimpi terbesarnya, yaitu pergi ke Benua Amerika, melalui
program beasiswa. Ranah ketiga pun, yaitu Benua Amerika, akhirnya berhasil ia
pijak.
Di akhir cerita, Alif dihadapkan
kembali dengan problematika yang sama, namun semua itu disikapi dengan cara
yang lebih bijak. Alif dengan lapang dada mengikhlaskan dan melepaskan sesuatu
hal yang sudah semestinya dilepas pergi.
KELEBIHAN
Novel ini memiliki kelebihan dari
segi cerita yang ringan dan mudah dipahami bagi para pembaca pemula, dengan
permasalahan yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari khususnya
kehidupan para remaja.
Selain itu dari segi pesan/amanat
novel ini juga mampu memberikan efek positif atau motivasi bagi yang membacanya
dalam memandang problematika kehidupan.
KEKURANGAN
Kekurangan yang nampak pada novel ini
yaitu pada pola cerita. Bila di perhatikan lebih dalam pola cerita Ranah 3
Warna nampak mirip dengan pola cerita di Negeri 5 Menara, jadi bagi mereka yang
sudah membaca novel Negeri 5 Menara, sedikit banyaknya akan timbul
prediksi-prediksi tertentu ketika membaca Ranah 3 Warna.
0 Komentar